I.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
1.1 Budaya Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga adalah sebuah entitas bisnis
yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh perusahaan pada
umumnya. Karena karakteristik yang unik ini, pengelolaan dan perubahan budaya
perusahaan keluarga memiliki pola yang unik pula. Perusahaan keluarga umumnya
memiliki visi jangka panjang yang solid karena adanya kepemilikan dan komitmen
jangka panjang yang jelas. Perusahaan keluarga umumnya juga memiliki
fleksibilitas dan kecepatan pengambilan keputusan yang tinggi karena perusahaan
dikelola oleh manajer-manajer yang sekaligus menjadi pemilik. Dan yang
terakhir, loyalitas, kedekatan, dan kecintaan para pengelola kunci perusahaan
keluarga umumnya demikian tinggi sehingga kohesivitasnya juga demikian tinggi.
Salah satu keunggulan perusahaan keluarga adalah orientasi
jangka panjang terhadap bisnis karena menganggap kelangsungan bisnis terkait
langsung dengan kelangsungan hidup keluarga. Jika perusahaan bangkrut, keluarga
tidak bisa makan. Di samping itu, dalam banyak kasus perusahaan dan produk
sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga jika produk yang
dihasilkan dipersepsikan cacat atau bermutu rendah, seakan-akan merefleksikan
diri mereka. Jadi sebuah perusahaan keluarga kemungkinan tidak tertarik untuk
memperoleh keuntungan finansial jangka pendek yang dapat menodai kedudukan
perusahaan.
Dari sisi budaya perusahaan, semangat keluarga
menentukan nilai, norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan. Sementara
nilai dari anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi
karyawan dan membantu terbentuknya identitas dan komitmen. Dalam perusahaan
keluarga yang berjalan terus, karyawan memiliki perasaan sebagai bagian dari
keluarga yang menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga karena relatif tidak
birokratis sehingga akses kepada manajemen senior lebih mudah. Pengambilan
keputusan pun lebih cepat dan lebih efektif.
Namun di sisi lain, budaya pada banyak perusahaan
keluarga juga memiliki sejumlah sisi negatif, yang metaforanya adalah The Moon
Culture. Maksudnya sangat tergantung kepada suasana hati (mood) pemiliknya.
Ciri-ciri The Moon Culture adalah pertama, apa yang disebut dengan “Superman
Syndrome” dan kepemimpinan ganda. Sang pemimpin dan pemilik seolah menjadi
superman yang dapat menjalankan berbagi peran dan mengatasi berbagai persoalan
dalam perusahaan. Juga munculnya kepemimpinan dari pihak keluarga yang acap
membingungkan karyawan. Sisi negatif lainnya adalah tiadanya garis tegas antara
persoalan perusahaan dan persoalan pribadi; kesetiaan lebih kepada pribadi
ketimbang organisasi; prosedur yang lebih bertumpu kepada situasi tertentu,
yang pada nyatanya sangat tergantung dari penilaian pemilik, serta transparansi
yang rendah.
1.2 Tuntutan Perubahan Budaya Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga adalah sebuah entitas bisnis yang
memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh perusahaan pada umumnya.
Karena karakteristik yang unik ini, pengelolaan dan perubahan budaya perusahaan
keluarga memiliki pola yang unik pula. Perusahaan keluarga umumnya memiliki
visi jangka panjang yang solid karena adanya kepemilikan dan komitmen jangka
panjang yang jelas. Perusahaan keluarga umumnya juga memiliki fleksibilitas dan
kecepatan pengambilan keputusan yang tinggi karena perusahaan dikelola oleh
manajer-manajer yang sekaligus menjadi pemilik. Dan yang terakhir, loyalitas,
kedekatan, dan kecintaan para pengelola kunci perusahaan keluarga umumnya
demikian tinggi sehingga kohesivitasnya juga demikian tinggi.
Pada era globalisasi ini, perubahan telah menjadi
bagian yang sangat penting dalam manajemen perusahaan. Perubahan tersebut terus
terjadi, baik secara ekonomi, sosial-budaya, hukum, politik. Setiap perubahan
tersebut tentu berpengaruh pada konteks bisnis yang sedang terjadi dalam suatu
negara. Ketika konteks bisnis tersebut terus berubah, maka perusahaan keluarga
ini juga dituntut agar dapat terus beradaptasi terhadap persaingan, yang
berarti perusahaan harus terus melakukan pembaharuan secara internal.
Perusahaan yang dihadapkan pada lingkungan yang
dinamis, kompleks dan seringkali sulit diprediksi sangat membutuhkan komitmen
untuk selalu melakukan perbaikan melalui suatu proses perubahan. Perubahan
Perusahaan adalah usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
Perusahaan yang unggul diawali dari adanya budaya perusahaan kuat dan mengakar
di setiap karyawannya yang kemudian mampu mengimplementasikannya dalam
pekerjaan mereka setiap hari. Hal inilah yang kemudian menginspirasi banyak
perusahaan di dunia untuk mengkonstruksikan budaya perusahaannya ke dalam
sebuah frase yang mencerminkan apa yang menjadi nilai-nilai dalam perusahaan
tersebut. Sebagai contoh salah satu perusahaan yang sukses
mengimplementasikannya adalah Toyota, dengan "Toyota Way" - nya yang
mulai dikonstruksikan ke dalam sebuah panduan "The Toyota Way"
padatahun 2001 sebagai cara untuk mengartikulasikan misi korporasi kepada
karyawan.
Budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan.
Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa perubahan
budaya organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat yang
mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-syarat
tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan
budaya organisasi. Sementara ada pandangan yang lebihmoderat dalam mensikapi
terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak mempertentangkan apakah
budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih
menekankan tentang bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya
organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan
antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan dan
pembentukan organisasi baru.
1.3 Tujuan
Makalah ini ditujukan untuk memahami bagaimana
proses transformasi budaya dapat terjadi Pada perusahaan keluarga, dimana perubahan
budaya sangat bergantung dari kemauan pemilik atau eksekutif perusahaan yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik perusahaan. Namun, banyak
tantangan yang dihadapi perusahaan keluarga dalam upayanya untuk melakukan
transformasi atau perubahan budaya. Beberapa di antaranya adalah konflik antara
nilai-nilai keluarga dan bisnis, persaingan dan dukungan, serta kontinuitas dan
transisi.
II.
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian & Komponen Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan suatu nilai-nilai
kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen
organisasi (Denison, 1990), hal ini dilakukan secara berulang-berulang dan
kemudian membentuk sebuah pola penyesuaian diri terhadap lingkungan internal
dan eksternal (Schein, 1992). Sistem tersebut dikoordinasikan secara sadar
(Robbins, 2005), untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut dilakukan
secara terus menerus sebagai proses pemrograman pikiran, yang secara permanen
akan membentuk software of mind dalam organisasi (Hofstede, 2005). Dalam
prosesnya, setiap anggota yang terlibat dalam organisasi membutuhkan proses
sosialisasi yang baik untuk dapat menyerap secara penuh budaya organisasi yang
ada. Ketika software of mind dari organisasi telah terbentuk, maka hal tersebut
juga akan berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Budaya membuat karyawan terbiasa
serta meyakini bahwa peraturan, tujuan dan proses yang diimplementasikan dalam
organisasi merupakan tujuan bersama. Proses pemrograman pikiran organisasi
dimulai sejak fase awal organisasi tersebut berdiri.
Budaya organisasi perusahaan merupakan pedoman
mengenai bagaimana seharusnya setiap kegiatan dilakukan dalam sebuah organisasi
(Deal and Kennedy, 1982). Dari definisi tersebut, budaya organisasi dapat
diartikan sekumpulan nilai, asumsi, keyakinan yang dipercaya benar oleh
sekelompok orang, yang kemudian berintegrasi satu sama lain dan membentuk satu
budaya organisasi yang utuh. Budaya organisasi tidak berbicara mengenai budaya
dari setiap individu yang terlibat di dalamnya, melainkan personal
characteristics budaya organisasi tersebut (Wirawan, 2007). Hal ini akan
terlihat secara otomatis dari respons setiap karyawan terhadap permasalahan
internal dan eksternal (Schein, 1992). Respons tersebut merupakan output dari
asumsi dasar yang dipercaya benar oleh sebuah organisasi.
Organisasi perusahaan yang dirancang untuk
mengimplementasikan suatu strategi sesungguhnya jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan format struktur organisasi
yang digambarkan dalam sebuah
bagan. Diluar bagan tersebut, sesungguhnya ada hal lain yang sangat perlu mendapat
perhatian manajemen dalam proses implementasi, yaitu budaya perusahaan. Budaya perusahaan mirip
dengan kepribadian seseorang. Budaya perusahaan merupakan norma atau nilai yang
dianut bersama (shared value) yang menjadi dasar bertindak seorang indvidu
dalam organisasi. Budaya perusahaan inilah yang dapat menyebabkan mengapa suatu strategi dapat diimplementasikan pada suatu
perusahaan, sedangkan pada perusahaan
yang lain strategi tersebut gagal
diimplementasikan kendati kedua
perusahaan tersebut menghadapi kondisi
yang relatif sama. Makin banyak anggota
yang menerima nilai-nilai inti yang dianut perusahaan dan merasa sangat terikat
kepadanya, maka akan semakin kuat budaya tersebut.
Karena budaya
perusahaan mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku seluruh pegawai, maka
budaya perusahaan juga berpengaruh besar dalam mempengaruhi kemampuan
perusahaan dalam mengubah arah strateginya. Perubahan dalam misi, sasaran,
strategi atau kebijakan suatu perusahaan, kemungkinan akan gagal jika dalam
perusahaan tersebut ada pihak yang melakukan oposisi secara kuat terhadap budaya yang dianut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa jika
implementasi suatu strategi akan mengakibatkan suatu perubahan, dan langkah-langkah untuk melakukan perubahan tersebut dalam praktiknya
tidak sesuai dengan budaya perusahaan tersebut, maka ada kemungkinan akan timbul penolakan atau
hambatan-hambatan. Sedangkan jika langkah-langkah yang diambil sesuai dengan
budaya perusahaan tersebut, maka proses implementasi strategi akan lebih mudah dilakukan.
Budaya perusahaan atau corporate culture dalam perusahaan
adalah suatu sistem dari nilai-nilai
yang dipegang bersama tentang apa yang penting serta keyakinan tentang
bagaimana perusahaan itu berjalan.Dalam konteks korporasi, budaya adalah
kebiasaan yang berkembang dan menjadi ciri khas dari masing-masing perusahaan.
Ciri khas unik yang dimaksud bukan hanya sekedar slogan atau sederetan tulisan
aturan dan diucapkan setiap pagi oleh masing masing individu, tetapi terlihat
dan terjadi baik secara sadar maupun tidak sadar. Artinya, budaya perusahaan
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh mayoritas individu di perusahaan tersebut
Edgar Schein mengajukan ide pembagian budaya
organisasi ke dalam 3 tingkatan: yaitu artefact, espoused values, dan basic
underlying assumptions (Schein, 1992)
Gambar
1.1 Komponen
Budaya Organisasi
Artefak merupakan komponen budaya terluar. Artefak
dalam konteks perusahaan bisa berupa: seragam, layout kantor, ritual, mars,
sapaan/panggilan, cerita legendaris mengenai kisah sukses, dan lainnya. Dalam
Espoused Value dapat diinterpretasikan sebagai nilai-nilai yang disadari,
diinginkan, dipublikasikan atau diekspos. Contoh dari nilai-nilai ini misalnya
saja ada organisasi yang mengutamakan nilai kemanusiaan, perusahaan lain
menaruh kebahagiaan karyawan sebagai prioritas utama, dan ada yang memposisikan
kepuasan customer di posisi teratas. Dan yang terakhir adalah Basic underlying
assumption (Asumsi Dasar), tingkatan ini mendasari terbentuknya tingkatan
budaya lain dalam perusahaan tersebut. Misalnya saja asumsi dasar suatu
perusahaan adalah eksplorasi kreativitas, karena dengan itulah mereka bisa
menciptakan produk yang berbeda di pasaran. Prinsip ini berimplikasi pada
tingkatan selanjutnya, di mana mereka menganut nilai-nilai tertentu seperti
fleksibilitas. Dari nilai tersebut, munculah artefak dalam bentuk seragam
bebas, ruangan kerja yang ceria, dan lainnya.
2.2 Proses Dibentuknya Budaya Organisasi
Untuk membentuk budaya organisasi, prosesnya dimulai
dari tahap pembentukan ide dan diikuti oleh lahirnya organisasi. Meski pada
tahap pembentukan ide organisasi tersebut belum menjadi kenyataan atau ada
wujudnya secara fisik, tahap ini menjadi dasar terbentuknya budaya organisasi.
Pada saat para pendiri organisasi memiliki ide untuk mendirikan organisasi,
maka budaya organisasi pasti akan ikut terpikirkan meskipun masih secara
eksplisit. Budaya organisasi baru menjadi kenyataan ketika organisasi sudah
benar-benar berdiri. Dapat dikatakan bahwa ketika organisasi berdiri,
pembentukan budaya organisasi pun ikut dimulai.hal ini dijelaskan oleh Schein
(1985) yang menyatakan bahwa pembentukan budaya organisasi tidak bisa
dipisahkan dari peran para pendiri organisasi. Filosofi dari sebuah
kepemimpinan akan menentukan bagaimana kriteria seleksi, sekaligus proses
terjadi dalam sebuah organisasi (Robbins, 2005).
Proses terbentuknya budaya organisasi:
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa budaya
organisasi diturunkan dari filosofi yang melekat kuat pada pendirinya, kemudian
budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam merekrut atau mempekerjakan
anggota di dalam organisasi. Tindakan dari manajemen puncak menentukan bagaimana
dan apa perilaku yang dapat diterima dengan baik dan yang tidak. Tingkat
kesuksesan dala mensosialisasikan budaya organisasi tergantung pada kecocokan
nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi
maupun pada preferensi manajemen puncak. Karyawan baru memiliki potensi besar
untuk merubah budaya dalam sebuah organisasi. Pada umumnya, karyawan baru akan
membawa paradigma yang jauh berbeda dari
organisasi. Setiap proses sosialisasi yang dilakukan akan secara
perlahan membentuk karakteristik budaya organisasi yang unik satu sama lain.
2.3 Jenis-Jenis Budaya Organisasi
Setiap karakteristik budaya organisasi akan
menggambarkan jenis budaya yang terjadi dalam sebuah organisasi. Budaya
organisasi menurut Cameron & Quinn dapat
diklasifikasikan menjadi 4 jenis (OCAI Online, 2010), yaitu the clan culture,
the adhocracy culture, the hierarchy culture, dan the market culture. Setiap
jenis budaya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sesuai dengan
karakteristiknya. Keempatnya jenis budaya ini diklasifikasikan berdasarkan
fleksibilitas, kebijaksanaan,fokus, stabilitas dan pengendalian.
Gambar
1.3 Topologi
Jenis Organisasi Cameron & Quinn
Tidak ada organisasi yang sepenuhnya menganut satu
jenis budaya organisasi, setiap organisasi memiliki satu budaya dominan dengan
campuran unsur-unsur budaya dari
jenis lainnya (OCAI online, 2010). Maka dari itu,
penting bagi setiap organisasi untuk memahami budayanya secara spesifik, karena
setiap budaya memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain.
2.4 Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat
penting. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku
individu yang ada didalamnya. Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya
organisasi sebagai berikut :
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara
satu organisasi dan yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi
anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada
sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk
dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan
kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
III.
PEMBAHASAN
3.1
Keunggulan Budaya pada Perusahaan Keluarga
Seperti apa yang dikatakan Manfred Kets De Vries,
dibandingkan perusahaan publik perusahaan keluarga pada umumnya cenderung
memiliki sudut pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Hal ini agak berbeda
dengan perusahaan publik yang seringkali banyak bertumpu pada
pertimbangan-pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan fluktuasi saham.
Pemimpin dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda
dibandingkan karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting
lainnya, yang memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka. Memiliki
nama dan produk membuat para pemimpin lebih sadar terhadap posisi mereka dalam
komunitas, yang mendorong mereka untuk menjaga reputasi mereka.
Di dalam banyak kasus, perusahaan dan produknya
sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga jika diasosiasikan
dengan produk yang inferior atau cacat, seakan-akan merefleksikan diri mereka.
Sehingga barangkali sebuah keluarga tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan
finansial jangka pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan. Misalkan suatu
keluarga memproduksi anggur, dalam beberapa generasi anggota keluarga mempunyai
kebanggaan terhadap produk mereka.
Tentu saja perusahan keluarga juga mempunyai
aspek-aspek yang merugikan. Misalnya munculnya confusing organization,
organisasi yang membingungkan karena distribusi power anggota keluarga yang
tidak sesuai struktur organisasi yang ada dan berakibat pada pengambilan
keputusan. Dominasi keluarga acap pula menimbulkan alasan yang tidak berada
dalam logika bisnis (family reason over business logic) dalam pengambilan
keputusan bisnis. Juga munculnya sindrom anak manja (spoiled child syndrome),
yang berupa toleransi terhadap anggota keluarga yang tidak kompeten. Dan yang
terpenting adalah munculnya konflik keluarga yang membelah perusahaan.
Kekeluargaan dapat menyatukan mereka, tetapi sekaligus dapat menciptakan
konflik yang sifatnya sangat subyektif dan mendalam. Dan jika ini terjadi,
seringkali sulit untuk melakukan resolusi.
Dari sisi budaya organisasi, semangat keluarga
menentukan nilai, norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan. Sementara
nilai anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi
karyawan dan membantu terbentuknya rasa identifikasi dan komitmen. Dalam
perusahaan keluarga yang berjalan secara berkesinambungan, karyawan memiliki
perasaan sebagai bagian dari keluarga, yang pada gilirannya akan menciptakan atmosfir
lebih peduli. Juga karena relatif tidak birokratif, akses kepada manajemen
senior lebih mudah dan pengambilan keputusan lebih cepat dan lebih efektif.
Budaya perusahaan sebuah perusahaan keluarga memang
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai keluarga sang pemilik. Sehingga
latarbelakang budaya sang pemilik akan sangat menentukan. Tak pelak latar
belakang etnik juga sering memberi nafas kepada budaya perusahaan yang
diperantarai oleh nilai yang diyakini oleh sang pemilik
Lebih spesifik, penuturan Sid Lowe dalam
menggambarkan Overseas Chinese Family Business (OCFB) di Hongkong patut
disimak. Mereka melakukan hibridisasi budaya antara modernis barat dan
tradisionalis timur.
OCFB melakukan pendekatan secara eklektik ide-ide
barat maupun ide-ide timur, yang bercirikan jejaring entrepreneurial
berlandaskan ketrampilan dalam membangun kepercayaan dan fleksibilitas yang
dapat menjadi modal organisasi virtual dan post modern yang sukses di abad
keduapuluhsatu di Barat.
Hibridisasi nilai-nilai dari kedua budaya merupakan
ciri khas sekaligus merupakan salah satu keunggulan budaya OCFB. Apalagi juga
menyerap nilai dan budaya dari masyarakat setempat, yang mempermudah dalam
beradaptasi dan mengembangkan usaha dalam konteks budaya dimana mereka berada.
Nilai-nilai ini juga nampak pada Chinese
Family-owned Enterprise (CFEs) di Singapura yang berhasil dalam menghadapi
krisis ekonomi dan kemudian bangkit menjadai motor penggerak ekonomi.
Beberapa karakteristik CFEs tidak semua dianggap
cocok bagi manajemen modern. Diantaranya adalah tiadanya pemisahan antara
kepemilikan dan pengawasan, nepotisme, manajemennya konservatif,
ketidakpercayaan terhadap bukan anggota keluarga, derajat otorianisme yang
tinggi, berlandaskan hemat dan kerja keras, penerapan jalur patrilinear, dan bisnis
etik Cina khususnya Xinyong (saling percaya). Menurut Francis Fukuyama beberapa
ciri keluarga ini dapat menghambat pertumbuhan bisnis keluarga Cina. Demikian
pula Gordon Redding menyatakan bahwa bentuk bisnis keluarga Cina mengandung
suatu hambatan untuk tumbuh. Kenyataannya banyak bisnis keluarga Cina yang
masih eksis, sehingga pendapat mereka terkesan pesimistik.
Perkembangan dan kesinambungan CFEs di Singapura
terutama merupakan hasil dari kesuksesan peralihan kepemilikan, pengawasan, dan
pengelolaan dari generasi pertama anggota keluarga menuju kepada anggota
keluarga generasi kedua, dan dalam kasus lainnya menuju ke generasi ketiga.
Anggota generasi kedua ini, telah terlatih secara profesional dan terbuka
terhadap teori manajemen baru yang digabungkan ke dalam nilai-nilai kultural
Cina seperti hemat dan sederhana, gigih, dan memodifikasinya ke dalam dunia
kerja yang berada di dalam konteks modern yang berubah cepat. Mereka dipandu
oleh nilai-nilai dan standar profesional dari contoh-contoh manajemen yang
ditunjukkan oleh manajer profesional bukan keluarga. Sementara generasi kedua
anggota keluarga tetap giat untuk mempertahankan fungsi entrepreneurial dalam
perusahaan mereka. Juga mampu merubah nilai-nilai Cina tradisional yang tidak
menaruh kepercayaan terhadap bukan anggota keluarga dan mengikis
ketidakpercayaan terhadap tanggung jawab administratif. Mereka memberikan
tanggung jawab kepada manager profesional bukan keluarga yang terlatih dan
memiliki kapabilitas.
Tampaknya perusahaan keluarga yang dapat bertahan
dan berkembang dapat meramu budaya perusahaan yang paling tepat bagi perusahaan
menghadapi berbagai perubahan. Mereka mempertahankan nilai-nilai yang dianggap
menguntungkan dan mendukung eksistensi perusahaan, membuang yang dianggap tidak
relevan dan mengadopsi nilai-nilai baru untuk dicangkokkan dalam budaya
perusahaan keluarga.
3.2
Kelemahan Transformasi Budaya Perusahaan Keluarga
Di balik keuntungan-keuntungan yang terdapat pada
perusahaan keluarga, terdapat pula kelemahan inheren (inherent competitive
disadvantages) yang seringkali menghambat pengelolaan dan transformasinya.
Pertama, perusahaan keluarga umumnya sulit berubah dan melakukan transformasi
karena para perintis dan founding father perusahaan keluarga umumnya sangat
dominan. Implikasinya, perubahan terhadap warisan (legacy) pendahulu baik
berupa strategi, sistem, budaya, maupun gaya kepemimpinan umumnya sulit
dilakukan bahkan dianggap tabu oleh generasi penerusnya.
Kedua, di tengah tingginya kohesivitas antar anggota
keluarga dalam pengelolaan perusahaan keluarga, dalam banyak kasus konflik
kepentingan antar anggota keluarga ternyata sangat siknifikan. Studi yang
dilakukan oleh Grant Thornton terhadap 275 perusahaan keluarga tahun 2002 lalu
misalnya, menunjukkan bahwa penyelesaian konflik antar anggota keluarga
ternyata merupakan masalah yang dianggap paling penting oleh perusahaan
keluarga. Tingginya konflik antar keluarga ini seringkali menyebabkan tingginya
corporate politic di dalam perusahaan yang ujung-ujungnya berdampak tidak
fokusnya perusahaan dalam membangun strategi, melakukan pengambilan keputusan,
alokasi sumber daya, dan sebagainya.
Ketiga, suksesi menjadi agenda sangat penting bagi
perusahaan keluarga karena ia secara langsung menentukan sustainability
perusahaan dalam jangka panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Suksesi ini seringkali menimbulkan masalah karena munculnya persoalan
non-teknis dan muatan emosional yang tinggi dalam pelaksanaannya. Perusahaan
keluarga umumnya tidak secara formal dan sistemik dalam mengelola persoalan
suksesi ini sehingga persoalan ini umumnya tak terkelola dengan baik.
Salah-urus dalam pengelolaan suksesi ini seringkali berakibat fatal, berupa
ambruknya dinasti perusahaan keluarga tersebut. Survai yang dilakukan diseluruh
dunia (Lansberg, 1999) menunjukkan rendahnya “survival rate” dari perusahaan
keluarga, dimana hanya 30% saja perusahaan keluarga di seluruh dunia yang mampu
bertahan sampai generasi kedua. Dan salah satu faktor utama rendahnya survival
rate itu tak lain terletak pada lemahnya perencanaan suksesi (succession
planning) yang dilakukan.
3.3
Perubahan Budaya Perusahaan Keluarga
Salah satu yang cukup menonjol adalah perbedaan
antara nilai-nilai keluarga dan nilai-nilai bisnis yang dapat menyebabkan
konflik. Dalam keluarga, hubungan lebih didasarkan pada emosi, sedangkan dalam
bisnis hubungan lebih rasional atau logis. Namun tidak berarti emosi harus
dihilangkan dalam dunia bisnis. Walaupun emosi penting dalam dunia bisnis,
tetapi bukan merupakan titik berat hubungan antar individu. Hubungan di dalam
keluarga berlangsung hingga jangka waktu yang lama, begitu pula di perusahaan
keluarga. Artinya tidak ada putus hubungan dengan anggota keluarga. Sebaliknya,
dalam budaya bisnis, hubungan itu terjaga selama seseorang memenuhi persyaratan
atau kriteria. Kalau tidak sesuai, tentu hubungan kinerja bisa diputus.
Keterikatan emosi ini tidak memungkinkan seseorang yang sudah dianggap anggota
keluarga dipecat, karena akan menimbulkan masalah dalam perubahan nanti.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah resistensi.
Sebuah perubahan di mana pun juga akan menimbulkan resistensi. Dari sisi
individu, baik anggota keluarga maupun bukan anggota keluarga, perubahan dirasa
akan menimbulkan ketidakpastian. Orang tidak menyukai ketidakpastian. Karena
keluarga memiliki nilai-nilai yang sudah mengakar, para anggota keluarga tidak
mengantisipasi perubahan dan merasa insecure dengan perubahan. Anggota keluarga
terlalu percaya diri dengan hubungan keluarga yang sudah baik. Anggota keluarga
tidak diperbolehkan melawan dan menyimpang dari norma keluarga, sehingga
menjadi masalah dalam perusahaan.
Resistensi terhadap perubahan seringkali disebabkan
oleh rasa takut kehilangan kompetensi yang dimiliki (loss of acquired
competence) dan hilangnya hubungan keluarga yang sudah mapan (loss of
established family relation). Perubahan dalam organisasi bersifat struktural,
budaya, dan kebijakan dan bisa diikuti dengan perubahan jabatan dari posisi
struktural. Perubahan ini sering dipersepsikan dapat menyebabkan berkurangnya
hubungan keluarga yang sudah terbentuk. Selain itu, ancaman berupa hilangnya
alokasi dan sumber daya yang sudah mapan (loss of established allocation and
resources) seperti kebijakan keuangan dan organisasi yang semula mempunyai
sumber daya menjadi hilang. Perubahan-perubahan cukup fundamental yang
merupakan hal biasa ini harus dikelola, bukannya sesuatu yang harus dihindari.
Robert Kennedy pernah mengatakan, kalau perubahan tidak menyebabkan orang
menjadi marah atau gusar, itu bukan perubahan namanya. Dengan kata lain,
perubahan itu menyebabkan orang gerah, dan jika tidak menyebabkan gerah,
namanya bukan perubahan.
Sesungguhnya inti perubahan terletak pada
kepemimpinan, yakni bagaimana mengelola perubahan yang tidak dapat dihindari.
Contohnya, ketika Teddy P. Rahmat menjadi CEO di Astra International awal tahun
1980-an, dia mengatakan bahwa esensi budaya perusahaan adalah kepemimpinan.
Perubahan mengandung unsur budaya. Bagaimana pemimpin bisa mengelola perubahan
dan bagaimana peran pemimpin?
Pemimpin juga harus menjadi pejuang perubahan. Salah
satu yang dikatakan Theodore Permadi Rachmat ketika menerima tongkat estafet
kepemimpinan dari William Soeryadjaya adalah Siapa yang memperkenalkan ide
perubahan, baik itu perubahan budaya atau kebijakan, maka dialah champion (yang
memperjuangkannya). Dia menganggap perlu adanya budaya dan tata nilai, dan
dialah yang akan menjadi orang pertama yang menjalankan dan mendorongnya. Ini
adalah satu cara untuk menciptakan budaya yang sesuai sehingga mendukung perubahan,
mendorong pengambilan keputusan dan mengendalikan tingkah laku.
Dalam mengimplementasikan perubahan di dalam
perusahaan keluarga, perlu dilihat empat hal yang saling berhubungan, yaitu
kapasitas (capacity), tekanan (pressure), langkah pertama yang bisa dilakukan
(actionable first step), dan penyelarasan kembali SDM (people realignment).
Perlu disadari bahwa dalam capacity, individu dan metode dituntut untuk selaras
dengan perubahan. Karyawan dan profesional serta anggota keluarga pasti
mengalami pressure dalam mengimplementasikan perubahan. Oleh karena itu,
diperlukan bimbingan terus menerus dari pemilik atau pendiri perusahaan.
Langkah pertama dimulai dengan implementasi yang bisa dilakukan. Sedangkan
dalam people realignment diperlukan penyesuaian kompetensi SDM yang tersedia.
Salah satu yang harus diperhatikan adalah kebiasaan
lama yang tak pernah mati (old habits never die). Berbicara tentang perusahaan
keluarga, ada kebiasaan-kebiasaan yang sudah membudaya dan melekat, bukan saja
dari sisi pendiri melainkan juga pada eksekutif yang bekerja sama dengan
pendiri. Kadangkala kebiasaan-kebiasaan tersebut harus diubah, tetapi karena
sudah melekat, kebiasaan-kebiasaan itu jadi relatif susah untuk dirubah. Isu
utama ini terkait juga dengan resistensi untuk berubah. Apalagi di sisi yang
lain, seringkali pendiri atau pemilik perusahaan menjadi terlalu percaya diri
dengan kemampuannya. Oh, saya sudah bisa membangun bisnis selama 30 tahun dan
berkembang baik, kenapa saya harus berubah, kenapa saya harus bertindak
profesional?
3.4
Konsep Tiga Pilar Transformasi Budaya Perusahaan Keluarga
Setiap perusahaan keluarga selalu memiliki tiga area
pengelolaan yang saling terkait, tergantung satu sama lain, dan ketiganya sama
pentingnya. Dari hal ini dapat digambarkan ketiga aspek pengelolaan ini
layaknya tiga kaki yang menopang berdirinya sebuah perusahaan keluarga. Kaki
ini ketiga-tiganya harus ada, karena kalau salah satu saja buntung maka
jalannya perusahaan jadi pincang. Tiga kaki ini adalah, pertama, pengelolaan bisnis
(business management); kedua, pengelolaan keluarga (family management), dan
terakhir, pengelolaan kepemilikan (ownership management).
Yang pertama menyangkut pengelolaan teknis bisnis
perusahaan—menjalankan strategi, mengimplementasi visi-misi, membangun disain
organisasi, dan sebagainya. Area ini generik sifatnya, artinya akan dapat
ditemui di jenis perusahaan apapun, apakah itu perusahaan keluarga ataupun
bukan. Aspek ini sangat penting namun, menjadi tidak berarti begitu dua aspek
yang lain terabaikan.
Yang kedua menyangkut masalah-masalah yang tidak
krusial dalam pengelolaan keluarga yang dalam hal ini merupakan salah satu
stakeholder utama perusahaan mengingat posisinya sebagai pemilik. Berbagai isu
yang menyangkut pengelolaan keluarga ini sangat beragam dan luas cakupannya:
mulai dari pembagian “kekuasaan” di antara anggota keluarga pemilik; menentukan
anggota keluarga yang akan duduk di dalam manajemen; membangun trust dan family
bond; mengelola berbagai kepentingan yang bermain di antara keluarga yang
terlibat di dalam perusahaan; menentukan garis besar kebijakan keluarga
berkaitan dengan arah ke depan perusahaan; menyatukan visi keluarga, mengelola
konflik antar keluarga; sampai dengan merencanakan suksesi dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
Sementara yang ketiga menyangkut pengelolaan
kepemilikan saham perusahaan. Isu yang terkait dengan kepemilikan inipun
memiliki cakupan yang amat luas dan sangat stratejik bagi masa depan
perusahaan. Isu tersebut mulai dari perumusan struktur dan distribusi
kepemilikan antar keluarga yang terlibat; kapitalisasi modal; cakupan dan
mekanisme kontrol keluarga di dalam perusahaan; kebijakan untuk menarik modal
dari luar keluarga atau mempertahankan dominasi kepemilikan keluarga, hingga
penciptaan mekanisme penggalangan modal di lingkungan keluarga untuk menopang
ekspansi dan pertumbuhan perusahaan.
IV.
KESIMPULAN
Dalam melakukan transformasi perusahaan keluarga harus mengetahui dengan
tepat untuk apa transformasi dilakukan, dan selanjutnya bagaimana melakukannya
yang dituangakan dalam sebuah rencana yang matang.
Kemampuan mengelola perubahan budaya perusahaan keluarga ini secara
semestinya maka ia akan menjadi kekuatan yang kuat. Perubahan budaya ini tak
hanya menyangkut bisnisnya saja tapi yang justru penting adalah perubahan
budaya pada keluarga dan founding father atau perintis perusahaan. Untuk
mencapai keunggulan bersaing yang kuat, sebuah perusahaan keluarga haruslah
berdiri kokoh tak hanya di satu kaki saja, tapi harus di tiga kaki sekaligus.
Dengan tiga kaki inilah perusahaan-perusahaan keluarga seperti Levi’s, Ford,
Wal Mart, McGraw-Hill, Harley-Davidson,Faber-Castell mampu konsisten
mendominasi pasar, tahan terhadap perubahan, dan sustainable tak hanya puluhan
tahun bahkan sampai ratusan tahun.
DAFTAR PUSTAKA
http://blognya-nova.blogspot.com/2013/07/perubahan-budaya-organisasi.html
http://wuridwi.blogspot.com/2013/04/28-perubahan-budaya-organisasi.html
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ekma5309/fproses_certoc.htm
http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/10/27/manajemen-perubahan/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6710/1/10E00589.pdf
http://www.yuswohady.com/2008/08/13/transformasi-perusahaan-keluarga/
http://www.jakartaconsulting.com/publications/articles/family-business/transformasi-perusahaan-keluarga
http://manajemen.bisnis.com/read/20141017/238/265898/rasa-aman-di-balik-perubahan-budaya
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ekma4111/ekma4111a/budaya_bisnis_keluarga.htm
0 comments:
Post a Comment