Monday, February 2, 2015

Makalah Perubahan Budaya Perusahan Keluarga



I.                   PENDAHULUAN

Latar Belakang
1.1  Budaya Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga adalah sebuah entitas bisnis yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh perusahaan pada umumnya. Karena karakteristik yang unik ini, pengelolaan dan perubahan budaya perusahaan keluarga memiliki pola yang unik pula. Perusahaan keluarga umumnya memiliki visi jangka panjang yang solid karena adanya kepemilikan dan komitmen jangka panjang yang jelas. Perusahaan keluarga umumnya juga memiliki fleksibilitas dan kecepatan pengambilan keputusan yang tinggi karena perusahaan dikelola oleh manajer-manajer yang sekaligus menjadi pemilik. Dan yang terakhir, loyalitas, kedekatan, dan kecintaan para pengelola kunci perusahaan keluarga umumnya demikian tinggi sehingga kohesivitasnya juga demikian tinggi.
Salah satu keunggulan perusahaan keluarga adalah orientasi jangka panjang terhadap bisnis karena menganggap kelangsungan bisnis terkait langsung dengan kelangsungan hidup keluarga. Jika perusahaan bangkrut, keluarga tidak bisa makan. Di samping itu, dalam banyak kasus perusahaan dan produk sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga jika produk yang dihasilkan dipersepsikan cacat atau bermutu rendah, seakan-akan merefleksikan diri mereka. Jadi sebuah perusahaan keluarga kemungkinan tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan finansial jangka pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan.
Dari sisi budaya perusahaan, semangat keluarga menentukan nilai, norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan. Sementara nilai dari anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi karyawan dan membantu terbentuknya identitas dan komitmen. Dalam perusahaan keluarga yang berjalan terus, karyawan memiliki perasaan sebagai bagian dari keluarga yang menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga karena relatif tidak birokratis sehingga akses kepada manajemen senior lebih mudah. Pengambilan keputusan pun lebih cepat dan lebih efektif.
Namun di sisi lain, budaya pada banyak perusahaan keluarga juga memiliki sejumlah sisi negatif, yang metaforanya adalah The Moon Culture. Maksudnya sangat tergantung kepada suasana hati (mood) pemiliknya. Ciri-ciri The Moon Culture adalah pertama, apa yang disebut dengan “Superman Syndrome” dan kepemimpinan ganda. Sang pemimpin dan pemilik seolah menjadi superman yang dapat menjalankan berbagi peran dan mengatasi berbagai persoalan dalam perusahaan. Juga munculnya kepemimpinan dari pihak keluarga yang acap membingungkan karyawan. Sisi negatif lainnya adalah tiadanya garis tegas antara persoalan perusahaan dan persoalan pribadi; kesetiaan lebih kepada pribadi ketimbang organisasi; prosedur yang lebih bertumpu kepada situasi tertentu, yang pada nyatanya sangat tergantung dari penilaian pemilik, serta transparansi yang rendah.


1.2  Tuntutan Perubahan Budaya Perusahaan Keluarga
Perusahaan keluarga adalah sebuah entitas bisnis yang memiliki karakteristik unik yang tidak dimiliki oleh perusahaan pada umumnya. Karena karakteristik yang unik ini, pengelolaan dan perubahan budaya perusahaan keluarga memiliki pola yang unik pula. Perusahaan keluarga umumnya memiliki visi jangka panjang yang solid karena adanya kepemilikan dan komitmen jangka panjang yang jelas. Perusahaan keluarga umumnya juga memiliki fleksibilitas dan kecepatan pengambilan keputusan yang tinggi karena perusahaan dikelola oleh manajer-manajer yang sekaligus menjadi pemilik. Dan yang terakhir, loyalitas, kedekatan, dan kecintaan para pengelola kunci perusahaan keluarga umumnya demikian tinggi sehingga kohesivitasnya juga demikian tinggi.
Pada era globalisasi ini, perubahan telah menjadi bagian yang sangat penting dalam manajemen perusahaan. Perubahan tersebut terus terjadi, baik secara ekonomi, sosial-budaya, hukum, politik. Setiap perubahan tersebut tentu berpengaruh pada konteks bisnis yang sedang terjadi dalam suatu negara. Ketika konteks bisnis tersebut terus berubah, maka perusahaan keluarga ini juga dituntut agar dapat terus beradaptasi terhadap persaingan, yang berarti perusahaan harus terus melakukan pembaharuan secara internal.
Perusahaan yang dihadapkan pada lingkungan yang dinamis, kompleks dan seringkali sulit diprediksi sangat membutuhkan komitmen untuk selalu melakukan perbaikan melalui suatu proses perubahan. Perubahan Perusahaan adalah usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Perusahaan yang unggul diawali dari adanya budaya perusahaan kuat dan mengakar di setiap karyawannya yang kemudian mampu mengimplementasikannya dalam pekerjaan mereka setiap hari. Hal inilah yang kemudian menginspirasi banyak perusahaan di dunia untuk mengkonstruksikan budaya perusahaannya ke dalam sebuah frase yang mencerminkan apa yang menjadi nilai-nilai dalam perusahaan tersebut. Sebagai contoh salah satu perusahaan yang sukses mengimplementasikannya adalah Toyota, dengan "Toyota Way" - nya yang mulai dikonstruksikan ke dalam sebuah panduan "The Toyota Way" padatahun 2001 sebagai cara untuk mengartikulasikan misi korporasi kepada karyawan.
Budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa perubahan budaya organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat yang mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan budaya organisasi. Sementara ada pandangan yang lebihmoderat dalam mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.


1.3  Tujuan
Makalah ini ditujukan untuk memahami bagaimana proses transformasi budaya dapat terjadi Pada perusahaan keluarga, dimana perubahan budaya sangat bergantung dari kemauan pemilik atau eksekutif perusahaan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik perusahaan. Namun, banyak tantangan yang dihadapi perusahaan keluarga dalam upayanya untuk melakukan transformasi atau perubahan budaya. Beberapa di antaranya adalah konflik antara nilai-nilai keluarga dan bisnis, persaingan dan dukungan, serta kontinuitas dan transisi.





















II.                LANDASAN TEORI
2.1  Pengertian & Komponen Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan suatu nilai-nilai kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi (Denison, 1990), hal ini dilakukan secara berulang-berulang dan kemudian membentuk sebuah pola penyesuaian diri terhadap lingkungan internal dan eksternal (Schein, 1992). Sistem tersebut dikoordinasikan secara sadar (Robbins, 2005), untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut dilakukan secara terus menerus sebagai proses pemrograman pikiran, yang secara permanen akan membentuk software of mind dalam organisasi (Hofstede, 2005). Dalam prosesnya, setiap anggota yang terlibat dalam organisasi membutuhkan proses sosialisasi yang baik untuk dapat menyerap secara penuh budaya organisasi yang ada. Ketika software of mind dari organisasi telah terbentuk, maka hal tersebut juga akan berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Budaya membuat karyawan terbiasa serta meyakini bahwa peraturan, tujuan dan proses yang diimplementasikan dalam organisasi merupakan tujuan bersama. Proses pemrograman pikiran organisasi dimulai sejak fase awal organisasi tersebut berdiri.
Budaya organisasi perusahaan merupakan pedoman mengenai bagaimana seharusnya setiap kegiatan dilakukan dalam sebuah organisasi (Deal and Kennedy, 1982). Dari definisi tersebut, budaya organisasi dapat diartikan sekumpulan nilai, asumsi, keyakinan yang dipercaya benar oleh sekelompok orang, yang kemudian berintegrasi satu sama lain dan membentuk satu budaya organisasi yang utuh. Budaya organisasi tidak berbicara mengenai budaya dari setiap individu yang terlibat di dalamnya, melainkan personal characteristics budaya organisasi tersebut (Wirawan, 2007). Hal ini akan terlihat secara otomatis dari respons setiap karyawan terhadap permasalahan internal dan eksternal (Schein, 1992). Respons tersebut merupakan output dari asumsi dasar yang dipercaya benar oleh sebuah organisasi.
Organisasi perusahaan yang dirancang untuk mengimplementasikan suatu strategi sesungguhnya jauh lebih kompleks dibandingkan dengan format struktur organisasi  yang digambarkan  dalam sebuah bagan. Diluar bagan tersebut, sesungguhnya ada hal lain yang sangat perlu  mendapat  perhatian manajemen dalam proses implementasi, yaitu  budaya perusahaan. Budaya perusahaan mirip dengan kepribadian seseorang. Budaya perusahaan merupakan norma atau nilai yang dianut bersama (shared value) yang menjadi dasar bertindak seorang indvidu dalam organisasi. Budaya perusahaan inilah yang dapat  menyebabkan mengapa  suatu strategi  dapat diimplementasikan pada suatu perusahaan, sedangkan pada perusahaan  yang lain  strategi tersebut  gagal  diimplementasikan  kendati kedua perusahaan tersebut menghadapi  kondisi yang relatif sama.  Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti yang dianut perusahaan dan merasa sangat terikat kepadanya, maka akan semakin kuat budaya tersebut.
 Karena budaya perusahaan mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku seluruh pegawai, maka budaya perusahaan juga berpengaruh besar dalam mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam mengubah arah strateginya. Perubahan dalam misi, sasaran, strategi atau kebijakan suatu perusahaan, kemungkinan akan gagal jika dalam perusahaan tersebut ada pihak yang melakukan oposisi secara  kuat terhadap budaya yang dianut.  Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa jika implementasi suatu strategi akan mengakibatkan suatu  perubahan, dan  langkah-langkah untuk  melakukan perubahan tersebut dalam praktiknya tidak sesuai dengan budaya perusahaan tersebut, maka ada kemungkinan   akan timbul penolakan atau hambatan-hambatan. Sedangkan jika langkah-langkah yang diambil sesuai dengan budaya perusahaan tersebut, maka proses implementasi  strategi akan lebih mudah dilakukan.
Budaya perusahaan atau corporate culture dalam perusahaan adalah suatu sistem  dari nilai-nilai yang dipegang bersama tentang apa yang penting serta keyakinan tentang bagaimana perusahaan itu berjalan.Dalam konteks korporasi, budaya adalah kebiasaan yang berkembang dan menjadi ciri khas dari masing-masing perusahaan. Ciri khas unik yang dimaksud bukan hanya sekedar slogan atau sederetan tulisan aturan dan diucapkan setiap pagi oleh masing masing individu, tetapi terlihat dan terjadi baik secara sadar maupun tidak sadar. Artinya, budaya perusahaan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh mayoritas individu di perusahaan tersebut
Edgar Schein mengajukan ide pembagian budaya organisasi ke dalam 3 tingkatan: yaitu artefact, espoused values, dan basic underlying assumptions (Schein, 1992)


Gambar 1.1 Komponen Budaya Organisasi
Artefak merupakan komponen budaya terluar. Artefak dalam konteks perusahaan bisa berupa: seragam, layout kantor, ritual, mars, sapaan/panggilan, cerita legendaris mengenai kisah sukses, dan lainnya. Dalam Espoused Value dapat diinterpretasikan sebagai nilai-nilai yang disadari, diinginkan, dipublikasikan atau diekspos. Contoh dari nilai-nilai ini misalnya saja ada organisasi yang mengutamakan nilai kemanusiaan, perusahaan lain menaruh kebahagiaan karyawan sebagai prioritas utama, dan ada yang memposisikan kepuasan customer di posisi teratas. Dan yang terakhir adalah Basic underlying assumption (Asumsi Dasar), tingkatan ini mendasari terbentuknya tingkatan budaya lain dalam perusahaan tersebut. Misalnya saja asumsi dasar suatu perusahaan adalah eksplorasi kreativitas, karena dengan itulah mereka bisa menciptakan produk yang berbeda di pasaran. Prinsip ini berimplikasi pada tingkatan selanjutnya, di mana mereka menganut nilai-nilai tertentu seperti fleksibilitas. Dari nilai tersebut, munculah artefak dalam bentuk seragam bebas, ruangan kerja yang ceria, dan lainnya.

2.2  Proses Dibentuknya Budaya Organisasi
Untuk membentuk budaya organisasi, prosesnya dimulai dari tahap pembentukan ide dan diikuti oleh lahirnya organisasi. Meski pada tahap pembentukan ide organisasi tersebut belum menjadi kenyataan atau ada wujudnya secara fisik, tahap ini menjadi dasar terbentuknya budaya organisasi. Pada saat para pendiri organisasi memiliki ide untuk mendirikan organisasi, maka budaya organisasi pasti akan ikut terpikirkan meskipun masih secara eksplisit. Budaya organisasi baru menjadi kenyataan ketika organisasi sudah benar-benar berdiri. Dapat dikatakan bahwa ketika organisasi berdiri, pembentukan budaya organisasi pun ikut dimulai.hal ini dijelaskan oleh Schein (1985) yang menyatakan bahwa pembentukan budaya organisasi tidak bisa dipisahkan dari peran para pendiri organisasi. Filosofi dari sebuah kepemimpinan akan menentukan bagaimana kriteria seleksi, sekaligus proses terjadi dalam sebuah organisasi (Robbins, 2005).
Proses terbentuknya budaya organisasi:

Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa budaya organisasi diturunkan dari filosofi yang melekat kuat pada pendirinya, kemudian budaya ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam merekrut atau mempekerjakan anggota di dalam organisasi. Tindakan dari manajemen puncak menentukan bagaimana dan apa perilaku yang dapat diterima dengan baik dan yang tidak. Tingkat kesuksesan dala mensosialisasikan budaya organisasi tergantung pada kecocokan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun pada preferensi manajemen puncak. Karyawan baru memiliki potensi besar untuk merubah budaya dalam sebuah organisasi. Pada umumnya, karyawan baru akan membawa paradigma yang jauh berbeda dari  organisasi. Setiap proses sosialisasi yang dilakukan akan secara perlahan membentuk karakteristik budaya organisasi yang unik satu sama lain.

2.3  Jenis-Jenis Budaya Organisasi
Setiap karakteristik budaya organisasi akan menggambarkan jenis budaya yang terjadi dalam sebuah organisasi. Budaya organisasi menurut Cameron & Quinn  dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis (OCAI Online, 2010), yaitu the clan culture, the adhocracy culture, the hierarchy culture, dan the market culture. Setiap jenis budaya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, sesuai dengan karakteristiknya. Keempatnya jenis budaya ini diklasifikasikan berdasarkan fleksibilitas, kebijaksanaan,fokus, stabilitas dan pengendalian.


Gambar 1.3 Topologi Jenis Organisasi Cameron & Quinn

Tidak ada organisasi yang sepenuhnya menganut satu jenis budaya organisasi, setiap organisasi memiliki satu budaya dominan dengan campuran unsur-unsur budaya dari
jenis lainnya (OCAI online, 2010). Maka dari itu, penting bagi setiap organisasi untuk memahami budayanya secara spesifik, karena setiap budaya memiliki keunikan yang berbeda satu sama lain.


2.4  Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya. Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
















III.              PEMBAHASAN
3.1 Keunggulan Budaya pada Perusahaan Keluarga
Seperti apa yang dikatakan Manfred Kets De Vries, dibandingkan perusahaan publik perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Hal ini agak berbeda dengan perusahaan publik yang seringkali banyak bertumpu pada pertimbangan-pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan fluktuasi saham. Pemimpin dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka. Memiliki nama dan produk membuat para pemimpin lebih sadar terhadap posisi mereka dalam komunitas, yang mendorong mereka untuk menjaga reputasi mereka.
Di dalam banyak kasus, perusahaan dan produknya sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga jika diasosiasikan dengan produk yang inferior atau cacat, seakan-akan merefleksikan diri mereka. Sehingga barangkali sebuah keluarga tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan finansial jangka pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan. Misalkan suatu keluarga memproduksi anggur, dalam beberapa generasi anggota keluarga mempunyai kebanggaan terhadap produk mereka.
Tentu saja perusahan keluarga juga mempunyai aspek-aspek yang merugikan. Misalnya munculnya confusing organization, organisasi yang membingungkan karena distribusi power anggota keluarga yang tidak sesuai struktur organisasi yang ada dan berakibat pada pengambilan keputusan. Dominasi keluarga acap pula menimbulkan alasan yang tidak berada dalam logika bisnis (family reason over business logic) dalam pengambilan keputusan bisnis. Juga munculnya sindrom anak manja (spoiled child syndrome), yang berupa toleransi terhadap anggota keluarga yang tidak kompeten. Dan yang terpenting adalah munculnya konflik keluarga yang membelah perusahaan. Kekeluargaan dapat menyatukan mereka, tetapi sekaligus dapat menciptakan konflik yang sifatnya sangat subyektif dan mendalam. Dan jika ini terjadi, seringkali sulit untuk melakukan resolusi.
Dari sisi budaya organisasi, semangat keluarga menentukan nilai, norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan. Sementara nilai anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi karyawan dan membantu terbentuknya rasa identifikasi dan komitmen. Dalam perusahaan keluarga yang berjalan secara berkesinambungan, karyawan memiliki perasaan sebagai bagian dari keluarga, yang pada gilirannya akan menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga karena relatif tidak birokratif, akses kepada manajemen senior lebih mudah dan pengambilan keputusan lebih cepat dan lebih efektif.
Budaya perusahaan sebuah perusahaan keluarga memang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai keluarga sang pemilik. Sehingga latarbelakang budaya sang pemilik akan sangat menentukan. Tak pelak latar belakang etnik juga sering memberi nafas kepada budaya perusahaan yang diperantarai oleh nilai yang diyakini oleh sang pemilik
Lebih spesifik, penuturan Sid Lowe dalam menggambarkan Overseas Chinese Family Business (OCFB) di Hongkong patut disimak. Mereka melakukan hibridisasi budaya antara modernis barat dan tradisionalis timur.
OCFB melakukan pendekatan secara eklektik ide-ide barat maupun ide-ide timur, yang bercirikan jejaring entrepreneurial berlandaskan ketrampilan dalam membangun kepercayaan dan fleksibilitas yang dapat menjadi modal organisasi virtual dan post modern yang sukses di abad keduapuluhsatu di Barat.
Hibridisasi nilai-nilai dari kedua budaya merupakan ciri khas sekaligus merupakan salah satu keunggulan budaya OCFB. Apalagi juga menyerap nilai dan budaya dari masyarakat setempat, yang mempermudah dalam beradaptasi dan mengembangkan usaha dalam konteks budaya dimana mereka berada.
Nilai-nilai ini juga nampak pada Chinese Family-owned Enterprise (CFEs) di Singapura yang berhasil dalam menghadapi krisis ekonomi dan kemudian bangkit menjadai motor penggerak ekonomi.
Beberapa karakteristik CFEs tidak semua dianggap cocok bagi manajemen modern. Diantaranya adalah tiadanya pemisahan antara kepemilikan dan pengawasan, nepotisme, manajemennya konservatif, ketidakpercayaan terhadap bukan anggota keluarga, derajat otorianisme yang tinggi, berlandaskan hemat dan kerja keras, penerapan jalur patrilinear, dan bisnis etik Cina khususnya Xinyong (saling percaya). Menurut Francis Fukuyama beberapa ciri keluarga ini dapat menghambat pertumbuhan bisnis keluarga Cina. Demikian pula Gordon Redding menyatakan bahwa bentuk bisnis keluarga Cina mengandung suatu hambatan untuk tumbuh. Kenyataannya banyak bisnis keluarga Cina yang masih eksis, sehingga pendapat mereka terkesan pesimistik.
Perkembangan dan kesinambungan CFEs di Singapura terutama merupakan hasil dari kesuksesan peralihan kepemilikan, pengawasan, dan pengelolaan dari generasi pertama anggota keluarga menuju kepada anggota keluarga generasi kedua, dan dalam kasus lainnya menuju ke generasi ketiga. Anggota generasi kedua ini, telah terlatih secara profesional dan terbuka terhadap teori manajemen baru yang digabungkan ke dalam nilai-nilai kultural Cina seperti hemat dan sederhana, gigih, dan memodifikasinya ke dalam dunia kerja yang berada di dalam konteks modern yang berubah cepat. Mereka dipandu oleh nilai-nilai dan standar profesional dari contoh-contoh manajemen yang ditunjukkan oleh manajer profesional bukan keluarga. Sementara generasi kedua anggota keluarga tetap giat untuk mempertahankan fungsi entrepreneurial dalam perusahaan mereka. Juga mampu merubah nilai-nilai Cina tradisional yang tidak menaruh kepercayaan terhadap bukan anggota keluarga dan mengikis ketidakpercayaan terhadap tanggung jawab administratif. Mereka memberikan tanggung jawab kepada manager profesional bukan keluarga yang terlatih dan memiliki kapabilitas.
Tampaknya perusahaan keluarga yang dapat bertahan dan berkembang dapat meramu budaya perusahaan yang paling tepat bagi perusahaan menghadapi berbagai perubahan. Mereka mempertahankan nilai-nilai yang dianggap menguntungkan dan mendukung eksistensi perusahaan, membuang yang dianggap tidak relevan dan mengadopsi nilai-nilai baru untuk dicangkokkan dalam budaya perusahaan keluarga.

3.2 Kelemahan Transformasi Budaya Perusahaan Keluarga
Di balik keuntungan-keuntungan yang terdapat pada perusahaan keluarga, terdapat pula kelemahan inheren (inherent competitive disadvantages) yang seringkali menghambat pengelolaan dan transformasinya. Pertama, perusahaan keluarga umumnya sulit berubah dan melakukan transformasi karena para perintis dan founding father perusahaan keluarga umumnya sangat dominan. Implikasinya, perubahan terhadap warisan (legacy) pendahulu baik berupa strategi, sistem, budaya, maupun gaya kepemimpinan umumnya sulit dilakukan bahkan dianggap tabu oleh generasi penerusnya.
Kedua, di tengah tingginya kohesivitas antar anggota keluarga dalam pengelolaan perusahaan keluarga, dalam banyak kasus konflik kepentingan antar anggota keluarga ternyata sangat siknifikan. Studi yang dilakukan oleh Grant Thornton terhadap 275 perusahaan keluarga tahun 2002 lalu misalnya, menunjukkan bahwa penyelesaian konflik antar anggota keluarga ternyata merupakan masalah yang dianggap paling penting oleh perusahaan keluarga. Tingginya konflik antar keluarga ini seringkali menyebabkan tingginya corporate politic di dalam perusahaan yang ujung-ujungnya berdampak tidak fokusnya perusahaan dalam membangun strategi, melakukan pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, dan sebagainya.
Ketiga, suksesi menjadi agenda sangat penting bagi perusahaan keluarga karena ia secara langsung menentukan sustainability perusahaan dalam jangka panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Suksesi ini seringkali menimbulkan masalah karena munculnya persoalan non-teknis dan muatan emosional yang tinggi dalam pelaksanaannya. Perusahaan keluarga umumnya tidak secara formal dan sistemik dalam mengelola persoalan suksesi ini sehingga persoalan ini umumnya tak terkelola dengan baik. Salah-urus dalam pengelolaan suksesi ini seringkali berakibat fatal, berupa ambruknya dinasti perusahaan keluarga tersebut. Survai yang dilakukan diseluruh dunia (Lansberg, 1999) menunjukkan rendahnya “survival rate” dari perusahaan keluarga, dimana hanya 30% saja perusahaan keluarga di seluruh dunia yang mampu bertahan sampai generasi kedua. Dan salah satu faktor utama rendahnya survival rate itu tak lain terletak pada lemahnya perencanaan suksesi (succession planning) yang dilakukan.

3.3 Perubahan Budaya Perusahaan Keluarga
Salah satu yang cukup menonjol adalah perbedaan antara nilai-nilai keluarga dan nilai-nilai bisnis yang dapat menyebabkan konflik. Dalam keluarga, hubungan lebih didasarkan pada emosi, sedangkan dalam bisnis hubungan lebih rasional atau logis. Namun tidak berarti emosi harus dihilangkan dalam dunia bisnis. Walaupun emosi penting dalam dunia bisnis, tetapi bukan merupakan titik berat hubungan antar individu. Hubungan di dalam keluarga berlangsung hingga jangka waktu yang lama, begitu pula di perusahaan keluarga. Artinya tidak ada putus hubungan dengan anggota keluarga. Sebaliknya, dalam budaya bisnis, hubungan itu terjaga selama seseorang memenuhi persyaratan atau kriteria. Kalau tidak sesuai, tentu hubungan kinerja bisa diputus. Keterikatan emosi ini tidak memungkinkan seseorang yang sudah dianggap anggota keluarga dipecat, karena akan menimbulkan masalah dalam perubahan nanti.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah resistensi. Sebuah perubahan di mana pun juga akan menimbulkan resistensi. Dari sisi individu, baik anggota keluarga maupun bukan anggota keluarga, perubahan dirasa akan menimbulkan ketidakpastian. Orang tidak menyukai ketidakpastian. Karena keluarga memiliki nilai-nilai yang sudah mengakar, para anggota keluarga tidak mengantisipasi perubahan dan merasa insecure dengan perubahan. Anggota keluarga terlalu percaya diri dengan hubungan keluarga yang sudah baik. Anggota keluarga tidak diperbolehkan melawan dan menyimpang dari norma keluarga, sehingga menjadi masalah dalam perusahaan.
Resistensi terhadap perubahan seringkali disebabkan oleh rasa takut kehilangan kompetensi yang dimiliki (loss of acquired competence) dan hilangnya hubungan keluarga yang sudah mapan (loss of established family relation). Perubahan dalam organisasi bersifat struktural, budaya, dan kebijakan dan bisa diikuti dengan perubahan jabatan dari posisi struktural. Perubahan ini sering dipersepsikan dapat menyebabkan berkurangnya hubungan keluarga yang sudah terbentuk. Selain itu, ancaman berupa hilangnya alokasi dan sumber daya yang sudah mapan (loss of established allocation and resources) seperti kebijakan keuangan dan organisasi yang semula mempunyai sumber daya menjadi hilang. Perubahan-perubahan cukup fundamental yang merupakan hal biasa ini harus dikelola, bukannya sesuatu yang harus dihindari. Robert Kennedy pernah mengatakan, kalau perubahan tidak menyebabkan orang menjadi marah atau gusar, itu bukan perubahan namanya. Dengan kata lain, perubahan itu menyebabkan orang gerah, dan jika tidak menyebabkan gerah, namanya bukan perubahan.
Sesungguhnya inti perubahan terletak pada kepemimpinan, yakni bagaimana mengelola perubahan yang tidak dapat dihindari. Contohnya, ketika Teddy P. Rahmat menjadi CEO di Astra International awal tahun 1980-an, dia mengatakan bahwa esensi budaya perusahaan adalah kepemimpinan. Perubahan mengandung unsur budaya. Bagaimana pemimpin bisa mengelola perubahan dan bagaimana peran pemimpin?
Pemimpin juga harus menjadi pejuang perubahan. Salah satu yang dikatakan Theodore Permadi Rachmat ketika menerima tongkat estafet kepemimpinan dari William Soeryadjaya adalah Siapa yang memperkenalkan ide perubahan, baik itu perubahan budaya atau kebijakan, maka dialah champion (yang memperjuangkannya). Dia menganggap perlu adanya budaya dan tata nilai, dan dialah yang akan menjadi orang pertama yang menjalankan dan mendorongnya. Ini adalah satu cara untuk menciptakan budaya yang sesuai sehingga mendukung perubahan, mendorong pengambilan keputusan dan mengendalikan tingkah laku.
Dalam mengimplementasikan perubahan di dalam perusahaan keluarga, perlu dilihat empat hal yang saling berhubungan, yaitu kapasitas (capacity), tekanan (pressure), langkah pertama yang bisa dilakukan (actionable first step), dan penyelarasan kembali SDM (people realignment). Perlu disadari bahwa dalam capacity, individu dan metode dituntut untuk selaras dengan perubahan. Karyawan dan profesional serta anggota keluarga pasti mengalami pressure dalam mengimplementasikan perubahan. Oleh karena itu, diperlukan bimbingan terus menerus dari pemilik atau pendiri perusahaan. Langkah pertama dimulai dengan implementasi yang bisa dilakukan. Sedangkan dalam people realignment diperlukan penyesuaian kompetensi SDM yang tersedia.
Salah satu yang harus diperhatikan adalah kebiasaan lama yang tak pernah mati (old habits never die). Berbicara tentang perusahaan keluarga, ada kebiasaan-kebiasaan yang sudah membudaya dan melekat, bukan saja dari sisi pendiri melainkan juga pada eksekutif yang bekerja sama dengan pendiri. Kadangkala kebiasaan-kebiasaan tersebut harus diubah, tetapi karena sudah melekat, kebiasaan-kebiasaan itu jadi relatif susah untuk dirubah. Isu utama ini terkait juga dengan resistensi untuk berubah. Apalagi di sisi yang lain, seringkali pendiri atau pemilik perusahaan menjadi terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Oh, saya sudah bisa membangun bisnis selama 30 tahun dan berkembang baik, kenapa saya harus berubah, kenapa saya harus bertindak profesional?

3.4 Konsep Tiga Pilar Transformasi Budaya Perusahaan Keluarga
Setiap perusahaan keluarga selalu memiliki tiga area pengelolaan yang saling terkait, tergantung satu sama lain, dan ketiganya sama pentingnya. Dari hal ini dapat digambarkan ketiga aspek pengelolaan ini layaknya tiga kaki yang menopang berdirinya sebuah perusahaan keluarga. Kaki ini ketiga-tiganya harus ada, karena kalau salah satu saja buntung maka jalannya perusahaan jadi pincang. Tiga kaki ini adalah, pertama, pengelolaan bisnis (business management); kedua, pengelolaan keluarga (family management), dan terakhir, pengelolaan kepemilikan (ownership management).
Yang pertama menyangkut pengelolaan teknis bisnis perusahaan—menjalankan strategi, mengimplementasi visi-misi, membangun disain organisasi, dan sebagainya. Area ini generik sifatnya, artinya akan dapat ditemui di jenis perusahaan apapun, apakah itu perusahaan keluarga ataupun bukan. Aspek ini sangat penting namun, menjadi tidak berarti begitu dua aspek yang lain terabaikan.
Yang kedua menyangkut masalah-masalah yang tidak krusial dalam pengelolaan keluarga yang dalam hal ini merupakan salah satu stakeholder utama perusahaan mengingat posisinya sebagai pemilik. Berbagai isu yang menyangkut pengelolaan keluarga ini sangat beragam dan luas cakupannya: mulai dari pembagian “kekuasaan” di antara anggota keluarga pemilik; menentukan anggota keluarga yang akan duduk di dalam manajemen; membangun trust dan family bond; mengelola berbagai kepentingan yang bermain di antara keluarga yang terlibat di dalam perusahaan; menentukan garis besar kebijakan keluarga berkaitan dengan arah ke depan perusahaan; menyatukan visi keluarga, mengelola konflik antar keluarga; sampai dengan merencanakan suksesi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sementara yang ketiga menyangkut pengelolaan kepemilikan saham perusahaan. Isu yang terkait dengan kepemilikan inipun memiliki cakupan yang amat luas dan sangat stratejik bagi masa depan perusahaan. Isu tersebut mulai dari perumusan struktur dan distribusi kepemilikan antar keluarga yang terlibat; kapitalisasi modal; cakupan dan mekanisme kontrol keluarga di dalam perusahaan; kebijakan untuk menarik modal dari luar keluarga atau mempertahankan dominasi kepemilikan keluarga, hingga penciptaan mekanisme penggalangan modal di lingkungan keluarga untuk menopang ekspansi dan pertumbuhan perusahaan.



















IV.             KESIMPULAN
Dalam melakukan transformasi perusahaan keluarga harus mengetahui dengan tepat untuk apa transformasi dilakukan, dan selanjutnya bagaimana melakukannya yang dituangakan dalam sebuah rencana yang matang.
Kemampuan mengelola perubahan budaya perusahaan keluarga ini secara semestinya maka ia akan menjadi kekuatan yang kuat. Perubahan budaya ini tak hanya menyangkut bisnisnya saja tapi yang justru penting adalah perubahan budaya pada keluarga dan founding father atau perintis perusahaan. Untuk mencapai keunggulan bersaing yang kuat, sebuah perusahaan keluarga haruslah berdiri kokoh tak hanya di satu kaki saja, tapi harus di tiga kaki sekaligus. Dengan tiga kaki inilah perusahaan-perusahaan keluarga seperti Levi’s, Ford, Wal Mart, McGraw-Hill, Harley-Davidson,Faber-Castell mampu konsisten mendominasi pasar, tahan terhadap perubahan, dan sustainable tak hanya puluhan tahun bahkan sampai ratusan tahun.


















DAFTAR PUSTAKA
http://blognya-nova.blogspot.com/2013/07/perubahan-budaya-organisasi.html
http://wuridwi.blogspot.com/2013/04/28-perubahan-budaya-organisasi.html
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ekma5309/fproses_certoc.htm
http://nuwrileardkhiyari.blogdetik.com/2013/10/27/manajemen-perubahan/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6710/1/10E00589.pdf
http://www.yuswohady.com/2008/08/13/transformasi-perusahaan-keluarga/
http://www.jakartaconsulting.com/publications/articles/family-business/transformasi-perusahaan-keluarga
http://manajemen.bisnis.com/read/20141017/238/265898/rasa-aman-di-balik-perubahan-budaya
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ekma4111/ekma4111a/budaya_bisnis_keluarga.htm

0 comments:

Post a Comment