BAB I
Pendahuluan
Pertumbuhan
industrialisasi memang dapat meningkatkan jumlah kesempatan kerja. Dengan
demikian maka jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam hubungan kerja juga
meningkat. Hal ini membawa konsekuensi adanya potensi timbulnya masalah dalam
hubungan industrial, bahkan masalah ini dapat menimbulkan kerawanan. Berbagai
faktor dapat menyebabkan masalah tersebut menjadi rawan. Faktor-faktor tersebut
dapat datang dari pekerja, pengusaha, aparat pemerintah maupun peraturan
perundang-undangan yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan
sekarang. Selain itu perkembangan dunia internasional juga mendorong lebih
terangkatnya masalah tersebut. Hal ini membawa perubahan hubungan antara
pimpinan perusahaan dengan pekerja yang dinilai dalam posisi lemah.
Untuk
menanggulangi masalah tersebut maka perlu adanya suatu upaya atau langkah
kongkrit khususnya dari pihak pengusaha/pimpinan perusahaan. Upaya penting yang
perlu dilakukan antara lain adalah penerapan peraturan perundang-undangan,
membina dan menjalin komunikasi dan memberikan perhatian kepada para pekerja
yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Selain itu, pekerja juga perlu
ditingkatkan pengetahuan mereka tentang berbagai peraturan perundang-undangan
khususnya di bidang ketenagakerjaan dan prosedur tata cara penyelesaian masalah
hubungan industrial serta berbagai masalah ekonomi perusahaan. Hal ini dapat
dilakukan melalui program pendidikan atau pembinaan-pembinaan masalah hubungan
industrial.
Hubungan
industrial merupakan sistem yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya bangsa
indonesia, mempunyai peranan yang besar dalam mengantisipasi dan mencegah
timbulnya masalah ketenagakerjaan. Namun demikian sistem ini bukan sepenuhnya
dapat dipahami dengan baik oleh para pelaku proses produksi. Belakangan ini
sangat terasa bahwa semakin meningkatnya kapasitas hubungan antar bangsa,
globalisasi dalam segala segi kehidupan mengakibatkan semakin tipisnya batas
antar negara. Demikian pula dengan pengaruh nilai-nilai sosial budaya negara
lain sangat terasa pada kehidupan bangsa kita. Arus globalisasi tersebut tidak
dapat lepas dari hubungan industrial yang kita terapkan. Dengan demikian maka
sistem hubungan industrial yang diterapkan di negara lain juga berpengaruh pada
sikap masyarakat industrial di Indonesia.
Krisis
multidimensi yang masih dialami bangsa Indonesia sampai saat ini belum dapat
terselesaikan dengan baik, khususnya di kalangan dunia usaha yang sampai kini
masih mengalami kelesuan sehingga para pengusaha cenderung hanya dapat pasrah,
tidak lagi memikirkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh melainkan
bagaimana caranya perusahaan dapat bertahan hidup. Kecenderungan tersebut
membuat para pekerja merasa kurang diperhatikan tingkat kesejahteraannya,
padahal pekerja dalam hal ini tidak hanya sebagai alat produksi saja melainkan
sebagai asset dan partner atau mitra kerja pengusaha dalam rangka
mempertahankan bahkan meningkatkan usaha perusahaan. Dampak yang timbul adalah
adanya ketidak harmonisan hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja yang
disebabkan oleh tingkat kesejahteraan pekerja serta masalah keberadaan dari serikat
pekerja/ serikat buruh diperusahaan maupun kurang terbukannya sistem manajemen
perusahaan.
Dalam
kenyataan di lapangan seringkali ketidakharmonisan tersebut berakibat munculnya
berbagai keresahan hubungan industrial seperti halnya aksi unjuk rasa dan
pemogokan. Bahkan masalah yang muncul tidak hanya bersifat teknis hubungan
industrial, akan tetapi terbawa berbagai masalah lain yang menjadikan
permasalahan semakin komplek dan berkembang serta berpengaruh terhadap
stabilitas sosial. Untuk mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial,
pengusaha dapat mengambil berbagai langkah strategis. Untuk itu memang
diperlukan perhatian khusus dari pengusaha berkaitan dengan hak-hak
pekerja/buruh, pemeliharaan hubungan baik dengan pekerja/buruh dan hubungan
industrial secara umum.
Pada
dasarnya secara umum penyebab aksi unjuk rasa maupun pemogokan tidak jauh
berbeda dengan penyebab perselisihan, demikian pula strategi mengantisipasi
atau mencegahnya. Mengembangkan deteksi dini (dapat dibentuk suatu tim) adalah
merupakan cara yang tidak sulit dan hasilnya cukup efektif.
BAB II
Tinjauan Teoritis
Seperti diketahui bersama bahwa seringnya terjadi
perselisihan di dalam perusahaan merupakan sesuatu yang amat mengganggu kegiatan
operasional perusahaan. Banyak hal yang selalu menjadi pemicu permasalahan antara
karyawan dan perusahaan. Untuk itu perlunya suatu proses mediasi yang dilakukan
agar dapat meredam terjadinya perselisihan tersebut. Proses mediasi inilah yang
kemudian disebut sebagai Hubungan Industrial. Kegiatan yang berkaitan dengan
hubungan industrial di dalam sebuah perusahaan bisa dikatakan lebih dari
sekedar hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi perusahaan itu
sendiri. Perkembangan yang berkaitan dengan hubungan industrial merupakan
cerminan adanya perubahan-perubahan dalam sifat dasar kerja di dalam suatu
masyarakat (baik dalam arti ekonomi maupun sosial) dan adanya perbedaan
pandangan mengenai peraturan perundangan undangan tentang ketenagakerjaan.
Pengertian
hubungan industrial dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1
nomor 16 disebutkan bahwa hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang
terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Namun,
sulit untuk mendefinisikan istilah “Hubungan Industrial” secara tepat yang
dapat diterima secara universal. Memang muncul pernyataan yang mendefinisikan
“Hubungan Industrial” dikaitkan dengan laki-laki, bekerja penuh waktu,
mempunyai serikat buruh, pekerja kasar di unit pabrik besar yang menetapkan
tindakan-tindakan pengendalian, pemogokan, dan perundingan bersama.
Namun, di Indonesia hubungan industrial ternyata berkaitan
dengan semua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja di suatu perusahaan tanpa
mempertimbangkan gender, keanggotaan dalam serikat pekerja/serikat buruh, dan
jenis pekerjaan. Hubungan Industrial juga seharusnya tidak dilihat hanya dari
persyaratan peraturan kerja organisasi yang sederhana, tetapi juga harus
ditinjau dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas (dipandang
secara komprehensif). Dengan kata lain Hubungan Industrial harus dipadukan
dengan bidang sosial, politik dan ekonomi, ketiganya tidak dapat dipisahkan
satu sama lain atau masing-masing tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industrial
adalah hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses
produksi barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam
setiap perusahaan (Stakeholders):
- Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
- Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
- Supplier atau perusahaan pemasok
- Konsumen atau para pengguna produk/jasa
- Perusahaan Pengguna
- Masyarakat sekitar
- Pemerintah
Disamping
para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga melibatkan:
- Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara
- Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
- Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial
Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial
merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan.
Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas
masalah-masalah hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan
perkembangan dan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan
kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek
lain yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan
perburuhan tidaklah terbatas hanya pada hubungan antara pekerja/buruh dan
pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.
Secara sederhana, pengertian mengenai hubungan industrial
adalah sebuah sistem hubungan yang terbangun atau terbentuk antara para pelaku
proses produksi barang dan/atau jasa, baik internal maupun eksternal
perusahaan. Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah
pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang kemudian diistilahkan sebagai
tripartit. Dalam proses produksi pihak-pihak yang secara fisik sehari-hari
terlibat langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha (operator), sedangkan
pemerintah terlibat di dalam hal-hal tertentu saja terutama yang berkaitan
dengan atau sesuai kewenangannya (regulator).
Hubungan industrial berawal dari adanya hubungan kerja yang
lebih bersifat individual antara pekerja dan pengusaha. Pengaturan hak dan
kewajiban pekerja diatur melalui perjanjian kerja yang bersifat perorangan.
Perjanjian kerja ini dilakukan pada saat penerimaan pekerja, antara lain memuat
ketentuan mengenai waktu pengangkatan, persoalan masa percobaaan, jabatan yang
bersangkutan, gaji (upah), fasilitas yang tersedia, tanggungjawab, uraian tugas,
dan penempatan kerja. Di tingkat perusahaan, pekerja dan pengusaha adalah dua
pelaku utama dalam hubungan industrial. Di satu sisi, pekerja dan pengusaha
mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan
perusahan, tetapi di sisi lain hubungan antar keduanya juga mempunyai potensi
konf1ik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang
tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak.
Hubungan industrial melibatkan sejumlah konsep, misalnya
konsep keadilan dan kesamaan, kekuatan dan kewenangan, individualisme dan
kolektivitas, hak dan kewajiban, serta integritas dan kepercayaan. Sementara
itu, fungsi utama pemerintah dalam hubungan industrial adalah mengadakan atau
menyusun peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan antara pekerja
dan pengusaha berja1an serasi dan seimbang, dilandasi oleh pengaturan hak dan kewajiban
yang adil. Selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk menyelesaikan secara
adil perselisihan atau konflik yang terjadi.
Tujuan akhir pengaturan hubungan industrial adalah untuk
meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Kedua
tujuan ini saling berkaitan, tidak terpisah, bahkan saling mempengaruhi.
Produktivitas perusahaan yang diawali dengan produktivitas kerja pekerjanya
hanya mungkin terjadi jika perusahaan didukung oleh pekerja yang sejahtera atau
mempunyai harapan bahwa di waktu yang akan datang kesejahteraan mereka akan
lebih membaik.
Sementara itu kesejahteraan semua pihak, khususnya para
pekerja, hanya mungkin dapat dipenuhi apabila didukung oleh produktivitas
perusahaan pada tingkat tertentu, atau jika ada peningkatan produktivitas yang
memadai, yang mengarah ke tingkat produktivitas sesuai dengan harapan
pengusaha. Sebelum mampu mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, semua
pihak yang terkait dalam proses produksi, khususnya pimpinan perusahaan, perlu
secara sungguh-sungguh menciptakan kondisi kerja yang mendukung. Kunci utama
keberhasilan menciptakan hubungan industrial yang aman dan dinamis adalah
komunikasi. Untuk memelihara komunikasi yang baik memang tidak mudah, dan
diperlukan perhatian secara khusus. Dengan terpeliharanya komunikasi yang
teratur sebenarnya kedua belah pihak, pekerja dan pengusaha, akan dapat menarik
manfaat besar.
Perkembangan Gerakan Buruh Sepintas Kilas
Dapat dikatakan bahwa dalam
masyarakat pra industrial tidak terdapat
kebutuhan untuk pemeliharaan hubungan industrial karena masyarakat tersebut
pada umumnya adalah masyarakat petani yang melakukan kegiatannya dengan teknik
dan metode bertani yang sudah berlangsung turun temurun (Sondang P. Siagian,
2008). Artinya, dibandingkan dengan masyarakat industri, masyarakat pra
industrial relatif statik.
Akan tetapi sejarah telah
membuktikan bahwa sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakat, jumlah kota
pun semakin bertambah banyak. Pada masa itu, semua segi perekonomian masyarakat
dikendalikan secara ketat oleh tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, para
konsumen dan gilda. Dari ketiga kelompok yang berperan dalam pengaturan kehidupan
perekonomian itu, gildalah yang paling dominan peranannya. Gilda adalah suatu
perkumpulan atau kelompok yang lahir dari dinamika kehidupan di daerah
perkotaan dan setiap karyawan adalah calon anggota gilda. Kenyataan ini membuat
setiap pemilik suatu usaha sangat berhati-hati dalam memperlakukan karyawannya.
Dampak Revolusi Industri Terhadap Gerakan Buruh
Menurut Sondang P. Siagian (2008),
sejarah telah mencatat bahwa timbulnya revolusi industri telah membawa dua
perubahan yang fundamental dalam kehidupan perekonomian para pekerja, yaitu:
1.
Perubahan
dalam produksi barang atau jasa yang beralih dari tangan perseorangan ke tangan
perusahaan.
2.
Beralihnya
pengelolaan ekonomi dari sistem feudal dan perorangan yang sifatnya statik
menjadi sistem yang sifatnya “impersonal” dan dinamik.
Lahirnya revolusi industri ternyata mengubah filsafat sosial
yang demikian. Begitu besar pengaruh dari perubahan filsafat itu sehingga
timbul pendapat yang mengatakan bahwa dalam sistem kapitalisme terjadilah
“penghisapan” sekelompok manusia, dalam hal ini para pemilik modal terhadap
manusia lainnya, yaitu para pekerja yang bukan pemilik modal. Bahkan
sesungguhnya, kenyataan demikianlah yang sering menimbulkan ketidakserasian
hubungan kerja antara majikan dan para pekerja.
Tahap-Tahap Dalam Hubungan Industrial
Hubungan industrial dalam suatu
organisasi pada umumnya dapat digolongkan kepada lima tahap pertumbuhan, yaitu:
1.
Tahap
Konflik
Pada tahap ini dalam hal timbulnya
pertikaian perburuhan yang serius antara manajemen dengan para pekerja,
manajemen akan mengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar pertikaian
yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung jangan sampai berakhir
dengan pemogokan. Langkah lain yang mungkin saja diambil oleh manajemen adalah
melakukan infiltrasi ke dalam organisasi serikat pekerja.
2.
Tahap
Pengakuan Eksistensi
Pada tahap ini manajemen membiarkan
dan mengakui adanya serikat pekerja dalam organisasi yang dipimpinnya, meskipun
sebenarnya disertai oleh sikap terpaksa. Jika negosiasi yang terpaksa dilakukan
itu tidak berhasil, dan sebagai akibatnya para pekerja melakukan pemogokan,
manajemen akan berusaha untuk menjadikan serikat pekerja menjadi tidak
berfungsi dan akan melakukan segala cara yang dapat ditempuhnya untuk
mengakhiri pemogokan dengan secepat mungkin.
3.
Tahap
Negosiasi
Pada tahap ini serikat pekerja pun
akan mengambil langkah-langkah yang menurut perhitungannya akan efektif dalam
menggolongkan kepentingan dan tuntutan para pekerja, seperti penyediaan dana
yang cukup untuk menjamin kesejahteraan para pekerja selama pertikaian belum
terselesaikan.
4.
Tahap
Akomodatif
Pada tahap ini manajemen tidak lagi
berusaha mendiskreditkan pimpinan serikat pekerja dan bahkan dalam berbagai
kesempatan dan peristiwa akan memuji peranan konstruktif yang dimainkan oleh
serikat pekerja yang memungkinkan organisasi mencapai berbagai keberhasilan
yang diraihnya.
5.
Tahap
Kerja Sama
Tahap ini merupakan tahap yang
paling maju dan paling ideal dalam hubungan industrial. Pada tahap ini, serikat
pekerja turut serta secara aktif dalam peningkatan efisiensi, efektivitas,
produktivitas dan semangat kerja para karyawan.
Arbitrasi
Telah umum dimaklumi bahwa yang
dimaksud dengan arbitrasi adalah dengar pendapat dan penentuan sesuatu hal yang
dipermasalahkan oleh dua pihak yang bertentangan oleh seorang atau beberapa
orang yang dipilih oleh kedua belah pihak untuk membantu mencarikan penyelesaian.
Esensialia dari arbitrasi ialah bahwa ia bersifat sukarela dalam arti bahwa
kedua belah pihak yang bersengketa sepaham dan sepakat untuk meminta bantuan
arbitrator, kecuali arbitrasi itu diharuskan oleh pemerintah (Sondang P.
Siagian, 2008). Dalam hal demikian keputusan arbitrator menjadi bersifat
mengikat dan harus ditaati oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrasi bertujuan
agar dalam suatu organisasi terdapat hubungan kerja yang serasi dan mencegah
timbulnya situasi yang mengakibatkan salah satu pihak menempuh cara-cara
tertentu yang akhirnya merugikan kedua belah pihak, seperti pemogokan oleh para
pekerja di satu pihak atau penutupan perusahaan oleh manajemen di pihak lain.
Peranan Pemerintah Dalam Penyelesaian Perselisihan Atau
Pertikaian Perburuhan
Di negara manapun, pemerintah selalu
berkepentingan dalam apa yang disebut dengan “perdamaian industrial”
(industrial peace). Berarti pemerintah selalu berkepentingan dalam penyelesaian
perburuhan secara damai. Menurut Sondang P. Siagian (2008), peranan pemerintah
dalam penyelesaian perselisihan atau pertikaian perburuhan pada hakikatnya
berkisar pada:
1.
Menetapkan
berbagai peraturan perundang-undangan tentang hubungan industrial dalam negara
yang bersangkutan dan cara-cara penyelesaiannya dalam hal hubungan industrial
litu terganggu.
2.
Mengawasi
pelaksanaan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
3.
Mencegah
timbulnya perselisihan atau pertikaian perburuhan.
4.
Bertindak
selaku mediator apabila perselisihan atau pertikaian perburuhan terjadi
sehingga diperoleh penyelesaian yang serasi antara lain dengan mempermudah
prosedur yang ditempuh dalam proses arbitrasi.
Jelaslah bahwa pemeliharaan hubungan industrial yang serasi
merupakan bagian integral yang amat penting dari keseluruhan hubungan antara
manajemen dengan seluruh karyawannya, bukan hanya demi kepentingan kedua belah
pihak saja, akan tetapi juga demi kepentingan masyarakat dan bangsa sebagai
keseluruhan.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat PKB merupakan
pijakan karyawan dalam menorehkan prestasi yang pada gilirannya akan berujung
kepada kinerja korporat dan kesejahteraan karyawan (www.id.wikipedia.org).
Jadi, PKB memang penting bagi perusahaan manapun. Hubungan kerja senantiasa
terjadi di masyarakat, baik secara formal maupun informal, dan semakin intensif
didalam masyarakat modern. Di dalam hubungan kerja memiliki potensi timbulnya
perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Untuk mencegah timbulnya akibat yang
lebih buruk, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja ini dalam
bentuk PKB. Dalam prakteknya, persyaratan kerja diatur dalam bentuk perjanjian
kerja yang sifatnya perorangan.
Perjanjian kerja bersama ini dibuat atas persetujuan pemberi
kerja dan karyawan yang bersifat individual. Pengaturan persyaratan kerja yang
bersifat kolektif dapat dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian
Kerja Bersama (PKB). Perjanjian Kerja Bersama atau PKB sebelumnya dikenal juga
dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama)/CLA (Collective Labour
Agreement) adalah merupakan perjanjian yang berisikan sekumpulan syarat-syarat
kerja, hak dan kewajiban para pihak yang merupakan hasil perundingan antara pengusaha,
dalam hal ini diwakili oleh manajemen perusahaan dan karyawan yang dalam hal
ini diwakili oleh Serikat Karyawan, serta tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal
1 UU No.13 tahun 2003 Point 21. PKB dibuat dengan melalui perundingan antara
manajemen dan serikat karyawan.
Kesemua itu untuk menjamin adanya kepastian dan perlindungan
di dalam hubungan kerja, sehingga dapat tercipta ketenangan kerja dan berusaha.
Lebih dari itu, dengan partisipasi ini juga merupakan cara untuk bersama-sama
memperkirakan dan menetapkan nasib perusahaan untuk masa depan. Masa berlakunya
PKB paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang masa berlakunya paling
lama 1 (satu) tahun. PKB juga merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk
untuk menjalankan hubungan industrial, dimana sarana yang lain adalah serikat
karyawan, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama
tripartit, peraturan perusahaan, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Menurut ketentuan, Perundingan pembuatan PKB berikutnya
dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang
berlaku. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang sedang
berlaku tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Sehingga dengan
demikian proses pembuatan PKB tidak memakan waktu lama dan berlarut-larut
sampai terjadi kebuntuan (dead lock) yang mengakibatkan tidak adanya kepastian
hukum.
BAB III
Analisis
Aksi unjuk rasa dan mogok kerja
nampaknya sudah menjadi fenomena yang biasa di masa sekarang. Dari aksi yang
dilaksanakan secara damai sampai pada aksi yang berakhir dengan tindakan
anarkis berupa pengrusakan fasilitas perusahaan atau penganiayaan terhadap
orang-orang tertentu. Selain itu unjuk rasa seringkali "disusupi"
pihak-pihak luar yang dengan tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan
terhadap para pelaku unjuk rasa, seperti yang dialami PT. Kadera AR Indonesia
pada akhir Maret 2001 dan PT. Batam Textile Industry di awal Mei 2000. Situasi
ini tidak urung menciutkan niat investor untuk menanamkan modalnya di tanah air,
dan bahkan para investor yang sudah masuk pun banyak yang sudah hengkang ke
Cina, Vietnam atau negara-negara lain yang dinilai aman bagi usaha investasi
mereka (www.repository.binus.ac.id)
Dari
kenyataan tersebut akan timbul pertanyaan, apa yang sedang terjadi dan mengapa
pemerintah tidak juga berhasil meredakan situasi tersebut atau paling tidak
mencegah tindakan anarkis, sehingga tercipta kestabilan dan kenyamanan dalam
bekerja. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu maka dilihat tiga faktor
utama yang dapat dianggap sebagai pemicu. Ketiga faktor tersebut juga
melibatkan tiga pihak penting dalam hubungan industrial yaitu karyawan/buruh,
pengusaha yang diwakili pihak management, dan pemerintah yang diwakili oleh
Depnakertrans. Ada pun ketiga faktor tersebut adalah :
1. Adanya
tuntutan kesejahteraan dari karyawan.
2. Tanggapan
dari pengusaha / management yang tidak bersedia berunding dengan karyawan
3. Peran
Departemen Tenaga Kerja selaku lembaga yang
diberi kepercayaan untuk menjembatani perselisihan antara buruh dengan
pengusaha tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Mengapa
Buruh Melakukan Unjuk Rasa dan Mogok Kerja?
Masalah
mogok kerja di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi sudah menjadi suatu
hal yang umum. Meskipun prosedur untuk melakukan mogok kerja menurut UU
Perburuhan no. 22 tahun 1957 harus terlebih dahulu mendapatkan tanda penerimaan
pemberitahuan mogok dari ketua Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
tingkat Daerah (P4D), dalam kenyataan para buruh tetap saja mogok tanpa
menunggu adanya tanda terima tersebut.
Jika
dilihat secara garis besar, unjuk rasa
atau pemogokan pada dasarnya terjadi karena adanya ganjalan atau
ketidakharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Adanya tuntutan yang
diajukan pekerja, yang tidak ditanggapi atau tidak dapat dipenuhi oleh
pengusaha, seringkali menimbulkan gejolak dan konflik yang diikuti unjuk rasa dan pemogokan.
Menurut Indra Ibrahim (2001) dalam makalah “Pengatasan Unjuk Rasa di Industri Tekstil” tuntutan para pengunjuk
rasa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tuntutan normatif dan tuntutan
non normatif.
Tuntutan Normatif
Tuntutan Non Normatif
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Jika
dilihat dari kedua tabel diatas maka faktor gaji/upah tampaknya masih
mendominasi tuntutan para pekerja.Dalam kasus PT Kadera AR Indonesia, aksi mogok dipicu oleh rendahnya gaji
karyawan serta seringnya pimpinan perusahaan bertindak sewenang-wenang. Namun
jika dilihat lebih lanjut akar masalahnya adalah gaji (tingkat kesejahteraan)
karyawan yang dirasa sudah sangat tidak mencukupi biaya hidup (Kompas, 31 Maret
2001). Hal tersebut dapat dimengerti
mengingat situasi perekonomian yang sangat parah sehingga para pekerja masih
jauh dari sejahtera. Meskipun pemerintah telah menetapkan UMR di setiap daerah,
namun UMR tersebut selalu dirasakan kurang akibat kenaikan harga kebutuhan
pokok yang selalu lebih tinggi dibanding kenaikan upah.
Tuntutan
untuk memperbaiki kesejahteraan hidup tampaknya akan terus menjadi tuntutan
para buruh, mengingat bahwa hal tersebut merupakan kebutuhan dasar yang harus
terpenuhi agar para pekerja dapat termotivasi untuk bekerja dengan baik,
seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow dalam teori Hirarki Kebutuhan
(Hierarchy of Needs Theory). Jika mengambil teori Hirarki Kebutuhan dari
Abraham Maslow maka faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi dan
produktivitas pekerja adalah:
1. Physiological
(kebutuhan fisik): adalah upah, rumah, sandang.
2. Safety
(kebutuhan akan rasa aman): adalah jabatan, kepastian karir, status kerja yang
jelas.
3. Sosial
(kebutuhan akan hubungan sosial / kasih sayang): adalah hubungan interpersonal
antar rekan kerja, atasan dan bawahan, dan iklim kerja.
4. Esteem
(kebutuhan akan pengakuan / dihargai): adalah penghargaan perusahaan terhadap
individu atas kinerja atau hasil usahanya, pemberian otonomi.
5. Self-actualization
(kebutuhan aktualisasi diri): kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan
perwujudan diri / professionalisme.
Berdasarkan
hirarki kebutuhan tersebut di atas maka jika kebutuhan dasar / fisik dari para
buruh masih belum terpenuhi maka gejolak dan konflik dalam hubungan industrial
dipastikan masih akan marak dikemudian hari. Hampir senada dengan pendapat
Maslow, seorang psikolog lain bernama Frederick Herzberg mengemukakan sebuah
teori yang disebut Motivation-Hygiene Theory. Herzberg membagi kebutuhan
pekerja menjadi dua bagian yaitu: Hygiene Factors dan Motivational Factors.
Hygiene
factors berhubungan dengan kebutuhan fisik/biologis seperti makanan, pakaian
dan perumahan. Hygiene factors ini dalam perusahaan dapat berupa kebijakan perusahaan, system administrasi,
gaji, iklim kerja, lingkungan kerja, hubungan interpersonal dan supervisi.
Menurut Herberg jika faktor ini telah dipenuhi oleh perusahaan maka dapat
meningkatkan motivasi meskipun belum menjamin bahwa pekerja akan puas. Kepuasan
kerja dalam hal ini sangat tergantung pada situasi atau kondisi yang ada pada
saat itu. Sebaliknya, Motivator factors, adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan achievement (prestasi), proses mencapai suatu prestasi, dan kesempatan
untuk mengembangkan diri secara psikologis. Dalam perusahaan faktor ini dapat
berupa jenis atau nilai suatu pekerjaan bagi si pemegang jabatan, tanggung
jawab, pengakuan atas prestasi kerja, atau pun prestasi yang dapat diraih oleh
si pekerja. Menurut Herzberg faktor ini lebih dapat memotivasi si pekerja jika
kebutuhan ini dapat dipenuhi. Secara
singkat kedua faktor tersebut dapat dibedakan dari dua pertanyaan:
1. Mengapa
Anda harus bekerja? (Hygiene factor)
2. Apakah
yang membuat Anda bekerja dengan baik? (Motivator factors).
Mengapa
Pengusaha Menolak untuk Berunding?
Ratifikasi
konvensi ILO no.87 pada 5 Juni 1998 dan gerakan reformasi di segala bidang yang
terjadi di Indonesia telah mengubah nuansa hubungan industrial. Jika pada era
sebelumnya hanya dikenal satu-satunya serikat pekerja yaitu SPSI, maka saat ini
jumlah serikat pekerja (SP) atau serikat buruh (SB) mungkin sudah mencapai
ratusan SP/SB. Permasalahan menjadi bertambah dengan kurangnya kesadaran para
pekerja/buruh untuk mematuhi rambu-rambu peraturan ketenagakerjaan atau
undang-undang perburuhan sehingga banyak
terjadi gejolak hubungan industrial akibat adanya unsur pemaksaan kehendak yang
cenderung mengarah pada tindakan anarkis oleh pekerja pada saat mereka menuntut
haknya.
Di
sisi lain para pengusaha sedang menghadapi dilema akibat krisis multidimensi. Meskipun tidak diingkari bahwa ada
juga beberapa pengusaha yang tidak / belum mau mengakomodir keinginan para
pekerjanya agar diperlakukan sebagai mitra sejajar dalam kegiatan produksi
perusahaannya.
` Jika
diperhatikan secara cermat ada beberapa alasan mengapa para pengusaha tidak mau
berunding dengan para buruh jika terjadi tuntutan:
1. Ketidakmampuan
pengusaha (dalam hal ini diwakili oleh pihak manajemen) dalam memenuhi tuntutan
pekerja sebagai akibat dari rendahnya produktivitas atau defisit keuangan yang
dialami perusahaan.
2. Adanya
fakta-fakta yang ditemukan oleh pengusaha bahwa aksi unjuk rasa atau pemogokan
bukan murni merupakan aspirasi seluruh pekerja di perusahaan tersebut tetapi
merupakan provokasi pihak lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kasus
para buruh yang berunjuk rasa atau mogok kerja tidak tahu apa yang menjadi
tuntutan dalam aksi tersebut, mereka ikut dalam aksi tersebut karena dipaksa.
3. Pengusaha
sengaja tidak merespons keinginan para pekerja karena pengusaha menganggap
seandainya terjadi mogok dan unjuk rasa, maka perusahaan dapat ditutup untuk
sementara sampai keadaan menjadi reda; selanjutnya perusahaan dibuka kembali
dengan merekrut pekerja baru.
4. Pengusaha
membiarkan unjuk rasa dan mogok kerja terjadi untuk kemudian dilakukan PHK.
Dalam banyak kasus pengusaha yang melakukan hal tersebut tidak mendapatkan
sanksi apapun dari pihak terkait (Depnakertrans) sebagai akibat dari lemahnya
penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.
5. Tuntutan
pekerja secara baik-baik tanpa disertai unjuk rasa dan mogok kerja seringkali
diabaikan atau tidak direspons oleh pengusaha karena pengusaha beranggapan bahwa
nantinya tuntutan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Dalam hal ini
pengusaha seringkali terlalu percaya diri atau terlalu yakin bahwa sistem yang
dijalankan di perusahaannya adalah yang terbaik sehingga tidak perlu lagi
mendengarkan tuntutan pekerja.
BAB
IV
Kesimpulan
dan Saran
Kesimpulan
Dalam
hubungan industrial dikenal unsur tripartit yaitu Pengusaha, Serikat Pekerja/Buruh
(yang mewakili tenaga kerja) serta Pemerintah (dalam hal ini Depnakertrans).
Unsur Pemerintah diharapkan bertindak sebagai fasilitator yang tidak memihak
diantara dua unsur pertama. Namun dalam kenyataannya pemerintah ternyata tidak
dapat menjalankan peran tersebut dengan baik. Hal ini terbukti dari lahirnya
peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan yang cenderung kontroversial,
seperti UU no. 21/2000 dan Kepmen No. 150/2000. Selain itu perangkat peraturan
perundangan ketenagakerjaan yang ada seringkali berubah-ubah dan banyak yang
sudah ketinggalan jaman (out of date).
Dalam
kasus-kasus mogok kerja dan unjuk rasa yang berakhir dengan tindakan-tindakan
anarkis peran pemerintah (Depnakertrans dan termasuk juga kepolisian) memang
sangat dinantikan. Hal ini dipandang krusial mengingat bahwa kasus unjuk rasa
telah melibatkan banyak pihak dan menjadi sorotan bagi pengusaha asing yang mau
menanamkan modalnya di Indonesia untuk melihat sejauh mana hukum dapat
ditegakkan di Republik ini.
Saran
Guna
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari maka penulis
mengusulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perlu
adanya komunikasi dua arah dan terus-menerus antara pengusaha dan pekerja untuk
mencegah prasangka dari kedua belah pihak sehingga tercapai hubungan industrial
yang baik.
2. Pihak
pengusaha sebaiknya merespon tuntutan buruh secara cepat dengan melakukan
pendekatan-pendekatan pada perwakilan serikat buruh/pekerja, sehingga unjuk
rasa dan mogok kerja dapat dicegah atau paling sedikit unjuk rasa atau mogok
tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan dan pekerja.
3. Pemerintah
perlu bertindak cepat dan proaktif dalam menyelesaikan perselisihan
buruh/pekerja dengan pengusaha sehingga tindakan anarkis dapat dicegah.
4. Pemerintah
perlu segera menyusun perangkat perundangan ketenagakerjaan terutama yang
menyangkut unjuk rasa dan mogok kerja sehingga tidak merusak citra Indonesia di
mata investor.
5. Perlu
adanya tindakan tegas dan adil dalam menindak para pelaku unjuk rasa &
mogok kerja maupun pihak lain yang bertindak anarkis.
BAB V
Daftar Pustaka
Handoko, T Hani, Dr, MBA. Manajemen Personalia & Sumber Daya Manusia cetakan ke sembilan
belas. 2005. BPFE UGM. Yogyakarta.
Khakim,
Abdul. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan
di Indonesia. 2009. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen Hubungan Industrial. 2009.
Jala Permata Aksara. Jakarta.
Kompas
31 Maret 2001
UU
No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_hubungan_industrial
0 comments:
Post a Comment