Monday, February 2, 2015

makalah hubungan industrial



BAB I
Pendahuluan

Pertumbuhan industrialisasi memang dapat meningkatkan jumlah kesempatan kerja. Dengan demikian maka jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam hubungan kerja juga meningkat. Hal ini membawa konsekuensi adanya potensi timbulnya masalah dalam hubungan industrial, bahkan masalah ini dapat menimbulkan kerawanan. Berbagai faktor dapat menyebabkan masalah tersebut menjadi rawan. Faktor-faktor tersebut dapat datang dari pekerja, pengusaha, aparat pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan sekarang. Selain itu perkembangan dunia internasional juga mendorong lebih terangkatnya masalah tersebut. Hal ini membawa perubahan hubungan antara pimpinan perusahaan dengan pekerja yang dinilai dalam posisi lemah.
Untuk menanggulangi masalah tersebut maka perlu adanya suatu upaya atau langkah kongkrit khususnya dari pihak pengusaha/pimpinan perusahaan. Upaya penting yang perlu dilakukan antara lain adalah penerapan peraturan perundang-undangan, membina dan menjalin komunikasi dan memberikan perhatian kepada para pekerja yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Selain itu, pekerja juga perlu ditingkatkan pengetahuan mereka tentang berbagai peraturan perundang-undangan khususnya di bidang ketenagakerjaan dan prosedur tata cara penyelesaian masalah hubungan industrial serta berbagai masalah ekonomi perusahaan. Hal ini dapat dilakukan melalui program pendidikan atau pembinaan-pembinaan masalah hubungan industrial.
Hubungan industrial merupakan sistem yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya bangsa indonesia, mempunyai peranan yang besar dalam mengantisipasi dan mencegah timbulnya masalah ketenagakerjaan. Namun demikian sistem ini bukan sepenuhnya dapat dipahami dengan baik oleh para pelaku proses produksi. Belakangan ini sangat terasa bahwa semakin meningkatnya kapasitas hubungan antar bangsa, globalisasi dalam segala segi kehidupan mengakibatkan semakin tipisnya batas antar negara. Demikian pula dengan pengaruh nilai-nilai sosial budaya negara lain sangat terasa pada kehidupan bangsa kita. Arus globalisasi tersebut tidak dapat lepas dari hubungan industrial yang kita terapkan. Dengan demikian maka sistem hubungan industrial yang diterapkan di negara lain juga berpengaruh pada sikap masyarakat industrial di Indonesia.
Krisis multidimensi yang masih dialami bangsa Indonesia sampai saat ini belum dapat terselesaikan dengan baik, khususnya di kalangan dunia usaha yang sampai kini masih mengalami kelesuan sehingga para pengusaha cenderung hanya dapat pasrah, tidak lagi memikirkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh melainkan bagaimana caranya perusahaan dapat bertahan hidup. Kecenderungan tersebut membuat para pekerja merasa kurang diperhatikan tingkat kesejahteraannya, padahal pekerja dalam hal ini tidak hanya sebagai alat produksi saja melainkan sebagai asset dan partner atau mitra kerja pengusaha dalam rangka mempertahankan bahkan meningkatkan usaha perusahaan. Dampak yang timbul adalah adanya ketidak harmonisan hubungan kemitraan antara pengusaha dan pekerja yang disebabkan oleh tingkat kesejahteraan pekerja serta masalah keberadaan dari serikat pekerja/ serikat buruh diperusahaan maupun kurang terbukannya sistem manajemen perusahaan.
Dalam kenyataan di lapangan seringkali ketidakharmonisan tersebut berakibat munculnya berbagai keresahan hubungan industrial seperti halnya aksi unjuk rasa dan pemogokan. Bahkan masalah yang muncul tidak hanya bersifat teknis hubungan industrial, akan tetapi terbawa berbagai masalah lain yang menjadikan permasalahan semakin komplek dan berkembang serta berpengaruh terhadap stabilitas sosial. Untuk mencegah timbulnya perselisihan hubungan industrial, pengusaha dapat mengambil berbagai langkah strategis. Untuk itu memang diperlukan perhatian khusus dari pengusaha berkaitan dengan hak-hak pekerja/buruh, pemeliharaan hubungan baik dengan pekerja/buruh dan hubungan industrial secara umum.
Pada dasarnya secara umum penyebab aksi unjuk rasa maupun pemogokan tidak jauh berbeda dengan penyebab perselisihan, demikian pula strategi mengantisipasi atau mencegahnya. Mengembangkan deteksi dini (dapat dibentuk suatu tim) adalah merupakan cara yang tidak sulit dan hasilnya cukup efektif.



BAB II
Tinjauan Teoritis

Seperti diketahui bersama bahwa seringnya terjadi perselisihan di dalam perusahaan merupakan sesuatu yang amat mengganggu kegiatan operasional perusahaan. Banyak hal yang selalu menjadi pemicu permasalahan antara karyawan dan perusahaan. Untuk itu perlunya suatu proses mediasi yang dilakukan agar dapat meredam terjadinya perselisihan tersebut. Proses mediasi inilah yang kemudian disebut sebagai Hubungan Industrial. Kegiatan yang berkaitan dengan hubungan industrial di dalam sebuah perusahaan bisa dikatakan lebih dari sekedar hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi perusahaan itu sendiri. Perkembangan yang berkaitan dengan hubungan industrial merupakan cerminan adanya perubahan-perubahan dalam sifat dasar kerja di dalam suatu masyarakat (baik dalam arti ekonomi maupun sosial) dan adanya perbedaan pandangan mengenai peraturan perundangan undangan tentang ketenagakerjaan.
Pengertian hubungan industrial dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 1 nomor 16 disebutkan bahwa hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, sulit untuk mendefinisikan istilah “Hubungan Industrial” secara tepat yang dapat diterima secara universal. Memang muncul pernyataan yang mendefinisikan “Hubungan Industrial” dikaitkan dengan laki-laki, bekerja penuh waktu, mempunyai serikat buruh, pekerja kasar di unit pabrik besar yang menetapkan tindakan-tindakan pengendalian, pemogokan, dan perundingan bersama.
Namun, di Indonesia hubungan industrial ternyata berkaitan dengan semua pihak yang terlibat dalam hubungan kerja di suatu perusahaan tanpa mempertimbangkan gender, keanggotaan dalam serikat pekerja/serikat buruh, dan jenis pekerjaan. Hubungan Industrial juga seharusnya tidak dilihat hanya dari persyaratan peraturan kerja organisasi yang sederhana, tetapi juga harus ditinjau dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas (dipandang secara komprehensif). Dengan kata lain Hubungan Industrial harus dipadukan dengan bidang sosial, politik dan ekonomi, ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau masing-masing tidak dapat berdiri sendiri.
Menurut Payaman J. Simanjuntak (2009), Hubungan industrial adalah hubungan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan (Stakeholders):
  1. Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak manajemen
  2. Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
  3. Supplier atau perusahaan pemasok
  4. Konsumen atau para pengguna produk/jasa
  5. Perusahaan Pengguna
  6. Masyarakat sekitar
  7. Pemerintah
Disamping para stakeholders tersebut, para pelaku hubungan industrial juga melibatkan:
  1. Para konsultan hubungan industrial dan/atau pengacara
  2. Para Arbitrator, konsiliator, mediator, dan akademisi
  3. Hakim-Hakim Pengadilan hubungan industrial
Abdul Khakim (2009) menjelaskan, istilah hubungan industrial merupakan terjemahan dari "labour relation" atau hubungan perburuhan. Istilah ini pada awalnya menganggap bahwa hubungan perburuhan hanya membahas masalah-masalah hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha. Seiring dengan perkembangan dan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa masalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha ternyata juga menyangkut aspek-aspek lain yang luas. Dengan demikian, Abdul Khakim (2009) menyatakan hubungan perburuhan tidaklah terbatas hanya pada hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha, tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah.
Secara sederhana, pengertian mengenai hubungan industrial adalah sebuah sistem hubungan yang terbangun atau terbentuk antara para pelaku proses produksi barang dan/atau jasa, baik internal maupun eksternal perusahaan. Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan ini terutama adalah pekerja, pengusaha, dan pemerintah yang kemudian diistilahkan sebagai tripartit. Dalam proses produksi pihak-pihak yang secara fisik sehari-hari terlibat langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha (operator), sedangkan pemerintah terlibat di dalam hal-hal tertentu saja terutama yang berkaitan dengan atau sesuai kewenangannya (regulator).
Hubungan industrial berawal dari adanya hubungan kerja yang lebih bersifat individual antara pekerja dan pengusaha. Pengaturan hak dan kewajiban pekerja diatur melalui perjanjian kerja yang bersifat perorangan. Perjanjian kerja ini dilakukan pada saat penerimaan pekerja, antara lain memuat ketentuan mengenai waktu pengangkatan, persoalan masa percobaaan, jabatan yang bersangkutan, gaji (upah), fasilitas yang tersedia, tanggungjawab, uraian tugas, dan penempatan kerja. Di tingkat perusahaan, pekerja dan pengusaha adalah dua pelaku utama dalam hubungan industrial. Di satu sisi, pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan yang sama, yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahan, tetapi di sisi lain hubungan antar keduanya juga mempunyai potensi konf1ik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak.
Hubungan industrial melibatkan sejumlah konsep, misalnya konsep keadilan dan kesamaan, kekuatan dan kewenangan, individualisme dan kolektivitas, hak dan kewajiban, serta integritas dan kepercayaan. Sementara itu, fungsi utama pemerintah dalam hubungan industrial adalah mengadakan atau menyusun peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan antara pekerja dan pengusaha berja1an serasi dan seimbang, dilandasi oleh pengaturan hak dan kewajiban yang adil. Selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk menyelesaikan secara adil perselisihan atau konflik yang terjadi.
Tujuan akhir pengaturan hubungan industrial adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan pekerja maupun pengusaha. Kedua tujuan ini saling berkaitan, tidak terpisah, bahkan saling mempengaruhi. Produktivitas perusahaan yang diawali dengan produktivitas kerja pekerjanya hanya mungkin terjadi jika perusahaan didukung oleh pekerja yang sejahtera atau mempunyai harapan bahwa di waktu yang akan datang kesejahteraan mereka akan lebih membaik.
Sementara itu kesejahteraan semua pihak, khususnya para pekerja, hanya mungkin dapat dipenuhi apabila didukung oleh produktivitas perusahaan pada tingkat tertentu, atau jika ada peningkatan produktivitas yang memadai, yang mengarah ke tingkat produktivitas sesuai dengan harapan pengusaha. Sebelum mampu mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, semua pihak yang terkait dalam proses produksi, khususnya pimpinan perusahaan, perlu secara sungguh-sungguh menciptakan kondisi kerja yang mendukung. Kunci utama keberhasilan menciptakan hubungan industrial yang aman dan dinamis adalah komunikasi. Untuk memelihara komunikasi yang baik memang tidak mudah, dan diperlukan perhatian secara khusus. Dengan terpeliharanya komunikasi yang teratur sebenarnya kedua belah pihak, pekerja dan pengusaha, akan dapat menarik manfaat besar.
Perkembangan Gerakan Buruh Sepintas Kilas
            Dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat pra industrial tidak terdapat  kebutuhan untuk pemeliharaan hubungan industrial karena masyarakat tersebut pada umumnya adalah masyarakat petani yang melakukan kegiatannya dengan teknik dan metode bertani yang sudah berlangsung turun temurun (Sondang P. Siagian, 2008). Artinya, dibandingkan dengan masyarakat industri, masyarakat pra industrial relatif statik.
            Akan tetapi sejarah telah membuktikan bahwa sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakat, jumlah kota pun semakin bertambah banyak. Pada masa itu, semua segi perekonomian masyarakat dikendalikan secara ketat oleh tiga pihak, yaitu pemerintah daerah, para konsumen dan gilda. Dari ketiga kelompok yang berperan dalam pengaturan kehidupan perekonomian itu, gildalah yang paling dominan peranannya. Gilda adalah suatu perkumpulan atau kelompok yang lahir dari dinamika kehidupan di daerah perkotaan dan setiap karyawan adalah calon anggota gilda. Kenyataan ini membuat setiap pemilik suatu usaha sangat berhati-hati dalam memperlakukan karyawannya.
Dampak Revolusi Industri Terhadap Gerakan Buruh
            Menurut Sondang P. Siagian (2008), sejarah telah mencatat bahwa timbulnya revolusi industri telah membawa dua perubahan yang fundamental dalam kehidupan perekonomian para pekerja, yaitu:
1.      Perubahan dalam produksi barang atau jasa yang beralih dari tangan perseorangan ke tangan perusahaan.
2.      Beralihnya pengelolaan ekonomi dari sistem feudal dan perorangan yang sifatnya statik menjadi sistem yang sifatnya “impersonal” dan dinamik.
Lahirnya revolusi industri ternyata mengubah filsafat sosial yang demikian. Begitu besar pengaruh dari perubahan filsafat itu sehingga timbul pendapat yang mengatakan bahwa dalam sistem kapitalisme terjadilah “penghisapan” sekelompok manusia, dalam hal ini para pemilik modal terhadap manusia lainnya, yaitu para pekerja yang bukan pemilik modal. Bahkan sesungguhnya, kenyataan demikianlah yang sering menimbulkan ketidakserasian hubungan kerja antara majikan dan para pekerja.
Tahap-Tahap Dalam Hubungan Industrial
            Hubungan industrial dalam suatu organisasi pada umumnya dapat digolongkan kepada lima tahap pertumbuhan, yaitu:
1.      Tahap Konflik
Pada tahap ini dalam hal timbulnya pertikaian perburuhan yang serius antara manajemen dengan para pekerja, manajemen akan mengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar pertikaian yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung jangan sampai berakhir dengan pemogokan. Langkah lain yang mungkin saja diambil oleh manajemen adalah melakukan infiltrasi ke dalam organisasi serikat pekerja.
2.      Tahap Pengakuan Eksistensi
Pada tahap ini manajemen membiarkan dan mengakui adanya serikat pekerja dalam organisasi yang dipimpinnya, meskipun sebenarnya disertai oleh sikap terpaksa. Jika negosiasi yang terpaksa dilakukan itu tidak berhasil, dan sebagai akibatnya para pekerja melakukan pemogokan, manajemen akan berusaha untuk menjadikan serikat pekerja menjadi tidak berfungsi dan akan melakukan segala cara yang dapat ditempuhnya untuk mengakhiri pemogokan dengan secepat mungkin.


3.      Tahap Negosiasi
Pada tahap ini serikat pekerja pun akan mengambil langkah-langkah yang menurut perhitungannya akan efektif dalam menggolongkan kepentingan dan tuntutan para pekerja, seperti penyediaan dana yang cukup untuk menjamin kesejahteraan para pekerja selama pertikaian belum terselesaikan.
4.      Tahap Akomodatif
Pada tahap ini manajemen tidak lagi berusaha mendiskreditkan pimpinan serikat pekerja dan bahkan dalam berbagai kesempatan dan peristiwa akan memuji peranan konstruktif yang dimainkan oleh serikat pekerja yang memungkinkan organisasi mencapai berbagai keberhasilan yang diraihnya.
5.      Tahap Kerja Sama
Tahap ini merupakan tahap yang paling maju dan paling ideal dalam hubungan industrial. Pada tahap ini, serikat pekerja turut serta secara aktif dalam peningkatan efisiensi, efektivitas, produktivitas dan semangat kerja para karyawan.

Arbitrasi
            Telah umum dimaklumi bahwa yang dimaksud dengan arbitrasi adalah dengar pendapat dan penentuan sesuatu hal yang dipermasalahkan oleh dua pihak yang bertentangan oleh seorang atau beberapa orang yang dipilih oleh kedua belah pihak untuk membantu mencarikan penyelesaian. Esensialia dari arbitrasi ialah bahwa ia bersifat sukarela dalam arti bahwa kedua belah pihak yang bersengketa sepaham dan sepakat untuk meminta bantuan arbitrator, kecuali arbitrasi itu diharuskan oleh pemerintah (Sondang P. Siagian, 2008). Dalam hal demikian keputusan arbitrator menjadi bersifat mengikat dan harus ditaati oleh pihak-pihak yang bersengketa.
            Pada dasarnya arbitrasi bertujuan agar dalam suatu organisasi terdapat hubungan kerja yang serasi dan mencegah timbulnya situasi yang mengakibatkan salah satu pihak menempuh cara-cara tertentu yang akhirnya merugikan kedua belah pihak, seperti pemogokan oleh para pekerja di satu pihak atau penutupan perusahaan oleh manajemen di pihak lain.
Peranan Pemerintah Dalam Penyelesaian Perselisihan Atau Pertikaian Perburuhan
            Di negara manapun, pemerintah selalu berkepentingan dalam apa yang disebut dengan “perdamaian industrial” (industrial peace). Berarti pemerintah selalu berkepentingan dalam penyelesaian perburuhan secara damai. Menurut Sondang P. Siagian (2008), peranan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan atau pertikaian perburuhan pada hakikatnya berkisar pada:
1.      Menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang hubungan industrial dalam negara yang bersangkutan dan cara-cara penyelesaiannya dalam hal hubungan industrial litu terganggu.
2.      Mengawasi pelaksanaan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
3.      Mencegah timbulnya perselisihan atau pertikaian perburuhan.
4.      Bertindak selaku mediator apabila perselisihan atau pertikaian perburuhan terjadi sehingga diperoleh penyelesaian yang serasi antara lain dengan mempermudah prosedur yang ditempuh dalam proses arbitrasi.
Jelaslah bahwa pemeliharaan hubungan industrial yang serasi merupakan bagian integral yang amat penting dari keseluruhan hubungan antara manajemen dengan seluruh karyawannya, bukan hanya demi kepentingan kedua belah pihak saja, akan tetapi juga demi kepentingan masyarakat dan bangsa sebagai keseluruhan.
Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian Kerja Bersama atau disingkat PKB merupakan pijakan karyawan dalam menorehkan prestasi yang pada gilirannya akan berujung kepada kinerja korporat dan kesejahteraan karyawan (www.id.wikipedia.org). Jadi, PKB memang penting bagi perusahaan manapun. Hubungan kerja senantiasa terjadi di masyarakat, baik secara formal maupun informal, dan semakin intensif didalam masyarakat modern. Di dalam hubungan kerja memiliki potensi timbulnya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Untuk mencegah timbulnya akibat yang lebih buruk, maka perlu adanya pengaturan di dalam hubungan kerja ini dalam bentuk PKB. Dalam prakteknya, persyaratan kerja diatur dalam bentuk perjanjian kerja yang sifatnya perorangan.
Perjanjian kerja bersama ini dibuat atas persetujuan pemberi kerja dan karyawan yang bersifat individual. Pengaturan persyaratan kerja yang bersifat kolektif dapat dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Perjanjian Kerja Bersama atau PKB sebelumnya dikenal juga dengan istilah KKB (Kesepakatan Kerja Bersama)/CLA (Collective Labour Agreement) adalah merupakan perjanjian yang berisikan sekumpulan syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak yang merupakan hasil perundingan antara pengusaha, dalam hal ini diwakili oleh manajemen perusahaan dan karyawan yang dalam hal ini diwakili oleh Serikat Karyawan, serta tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 UU No.13 tahun 2003 Point 21. PKB dibuat dengan melalui perundingan antara manajemen dan serikat karyawan.
Kesemua itu untuk menjamin adanya kepastian dan perlindungan di dalam hubungan kerja, sehingga dapat tercipta ketenangan kerja dan berusaha. Lebih dari itu, dengan partisipasi ini juga merupakan cara untuk bersama-sama memperkirakan dan menetapkan nasib perusahaan untuk masa depan. Masa berlakunya PKB paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang masa berlakunya paling lama 1 (satu) tahun. PKB juga merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk untuk menjalankan hubungan industrial, dimana sarana yang lain adalah serikat karyawan, organisasi pengusaha, lembaga kerjasama bipartit, lembaga kerjasama tripartit, peraturan perusahaan, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Menurut ketentuan, Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang berlaku. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang sedang berlaku tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Sehingga dengan demikian proses pembuatan PKB tidak memakan waktu lama dan berlarut-larut sampai terjadi kebuntuan (dead lock) yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.



BAB III
Analisis

            Aksi unjuk rasa dan mogok kerja nampaknya sudah menjadi fenomena yang biasa di masa sekarang. Dari aksi yang dilaksanakan secara damai sampai pada aksi yang berakhir dengan tindakan anarkis berupa pengrusakan fasilitas perusahaan atau penganiayaan terhadap orang-orang tertentu. Selain itu unjuk rasa seringkali "disusupi" pihak-pihak luar yang dengan tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan terhadap para pelaku unjuk rasa, seperti yang dialami PT. Kadera AR Indonesia pada akhir Maret 2001 dan PT. Batam Textile Industry di awal Mei 2000. Situasi ini tidak urung menciutkan niat investor untuk menanamkan modalnya di tanah air, dan bahkan para investor yang sudah masuk pun banyak yang sudah hengkang ke Cina, Vietnam atau negara-negara lain yang dinilai aman bagi usaha investasi mereka (www.repository.binus.ac.id)
Dari kenyataan tersebut akan timbul pertanyaan, apa yang sedang terjadi dan mengapa pemerintah tidak juga berhasil meredakan situasi tersebut atau paling tidak mencegah tindakan anarkis, sehingga tercipta kestabilan dan kenyamanan dalam bekerja. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu maka dilihat tiga faktor utama yang dapat dianggap sebagai pemicu. Ketiga faktor tersebut juga melibatkan tiga pihak penting dalam hubungan industrial yaitu karyawan/buruh, pengusaha yang diwakili pihak management, dan pemerintah yang diwakili oleh Depnakertrans. Ada pun ketiga faktor tersebut adalah :
1.      Adanya tuntutan kesejahteraan dari karyawan.
2.      Tanggapan dari pengusaha / management yang tidak bersedia berunding dengan karyawan
3.      Peran Departemen Tenaga Kerja selaku lembaga yang  diberi kepercayaan untuk menjembatani perselisihan antara buruh dengan pengusaha tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.


Mengapa Buruh Melakukan Unjuk Rasa dan Mogok Kerja?
Masalah mogok kerja di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi sudah menjadi suatu hal yang umum. Meskipun prosedur untuk melakukan mogok kerja menurut UU Perburuhan no. 22 tahun 1957 harus terlebih dahulu mendapatkan tanda penerimaan pemberitahuan mogok dari ketua Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Daerah (P4D), dalam kenyataan para buruh tetap saja mogok tanpa menunggu adanya tanda terima tersebut.
Jika dilihat secara  garis besar, unjuk rasa atau pemogokan pada dasarnya terjadi karena adanya ganjalan atau ketidakharmonisan hubungan antara pekerja dan pengusaha. Adanya tuntutan yang diajukan pekerja, yang tidak ditanggapi atau tidak dapat dipenuhi oleh pengusaha, seringkali menimbulkan gejolak dan konflik  yang diikuti unjuk rasa dan pemogokan. Menurut Indra Ibrahim (2001) dalam makalah “Pengatasan Unjuk Rasa di  Industri Tekstil” tuntutan para pengunjuk rasa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tuntutan normatif dan tuntutan non normatif.
Tuntutan Normatif 
No.
Tuntutan
Jumlah Kasus
Presentase
1.
UMR
40
21.98
2.
Hak cuti
34
18.68
3.
Jamsostek
25
13.74
4.
PHK
24
13.19
5.
Hak lembur
18
9.89
6.
Serikat Pekerja
13
7.14
7.
Hak THR
12
6.59
8.
Uang jasa
6
3.30
9.
KKB
5
2.75
10.
Pelaksanaan pesangon
5
2.75

Total
182
100.00

 

Tuntutan Non Normatif

No.
Tuntutan
Jumlah Kasus
Prosentase
1.
Kenaikan Upah /THR
89
23.67
2.
Menu / Uang makan
53
14.10
3.
Transport
33
8.78
4.
Insentif / Kesejahteraan
32
8.51
5.
Solidaritas
23
6.12
6.
Bonus
18
4.79
7.
Tunjangan Sembako
17
4.52
8.
Intimidasi / Skorsing
16
4.26
9.
Kontrak Kerja
16
4.26
10.
Manager SDM mundur
14
3.72
11.
Pesangon
10
2.66
12.
Catering
9
2.39
13.
Pakaian kerja
9
2.39
14.
Premi Kehadiran
8
2.13
15.
Kerja kembali
7
1.86
16.
Uang shift
7
1.86
17.
Sarana ibadah
6
1.60
18.
Pengangkatan
4
1.06
19.
Surat sakit
3
0.8
20.
Slip gaji
2
0.53

Total
376
100.00


Jika dilihat dari kedua tabel diatas maka faktor gaji/upah tampaknya masih mendominasi tuntutan para pekerja.Dalam kasus PT Kadera AR Indonesia,  aksi mogok dipicu oleh rendahnya gaji karyawan serta seringnya pimpinan perusahaan bertindak sewenang-wenang. Namun jika dilihat lebih lanjut akar masalahnya adalah gaji (tingkat kesejahteraan) karyawan yang dirasa sudah sangat tidak mencukupi biaya hidup (Kompas, 31 Maret 2001).  Hal tersebut dapat dimengerti mengingat situasi perekonomian yang sangat parah sehingga para pekerja masih jauh dari sejahtera. Meskipun pemerintah telah menetapkan UMR di setiap daerah, namun UMR tersebut selalu dirasakan kurang akibat kenaikan harga kebutuhan pokok yang selalu lebih tinggi dibanding kenaikan upah.
Tuntutan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup tampaknya akan terus menjadi tuntutan para buruh, mengingat bahwa hal tersebut merupakan kebutuhan dasar yang harus terpenuhi agar para pekerja dapat termotivasi untuk bekerja dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh Abraham Maslow dalam teori Hirarki Kebutuhan (Hierarchy of Needs Theory). Jika mengambil teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow maka faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi dan produktivitas pekerja adalah:
1.      Physiological (kebutuhan fisik): adalah upah, rumah, sandang.
2.      Safety (kebutuhan akan rasa aman): adalah jabatan, kepastian karir, status kerja yang jelas.
3.      Sosial (kebutuhan akan hubungan sosial / kasih sayang): adalah hubungan interpersonal antar rekan kerja, atasan dan bawahan, dan iklim kerja.
4.      Esteem (kebutuhan akan pengakuan / dihargai): adalah penghargaan perusahaan terhadap individu atas kinerja atau hasil usahanya, pemberian otonomi.
5.      Self-actualization (kebutuhan aktualisasi diri): kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan perwujudan diri / professionalisme.
Berdasarkan hirarki kebutuhan tersebut di atas maka jika kebutuhan dasar / fisik dari para buruh masih belum terpenuhi maka gejolak dan konflik dalam hubungan industrial dipastikan masih akan marak dikemudian hari. Hampir senada dengan pendapat Maslow, seorang psikolog lain bernama Frederick Herzberg mengemukakan sebuah teori yang disebut Motivation-Hygiene Theory. Herzberg membagi kebutuhan pekerja menjadi dua bagian yaitu: Hygiene Factors dan Motivational Factors.
Hygiene factors berhubungan dengan kebutuhan fisik/biologis seperti makanan, pakaian dan perumahan. Hygiene factors ini dalam perusahaan dapat berupa  kebijakan perusahaan, system administrasi, gaji, iklim kerja, lingkungan kerja, hubungan interpersonal dan supervisi. Menurut Herberg jika faktor ini telah dipenuhi oleh perusahaan maka dapat meningkatkan motivasi meskipun belum menjamin bahwa pekerja akan puas. Kepuasan kerja dalam hal ini sangat tergantung pada situasi atau kondisi yang ada pada saat itu. Sebaliknya, Motivator factors, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan achievement (prestasi), proses mencapai suatu prestasi, dan kesempatan untuk mengembangkan diri secara psikologis. Dalam perusahaan faktor ini dapat berupa jenis atau nilai suatu pekerjaan bagi si pemegang jabatan, tanggung jawab, pengakuan atas prestasi kerja, atau pun prestasi yang dapat diraih oleh si pekerja. Menurut Herzberg faktor ini lebih dapat memotivasi si pekerja jika kebutuhan ini dapat dipenuhi.  Secara singkat kedua faktor tersebut dapat dibedakan dari dua pertanyaan:
1.      Mengapa Anda harus bekerja? (Hygiene factor)
2.      Apakah yang membuat Anda bekerja dengan baik? (Motivator factors).


Mengapa Pengusaha Menolak untuk Berunding?
Ratifikasi konvensi ILO no.87 pada 5 Juni 1998 dan gerakan reformasi di segala bidang yang terjadi di Indonesia telah mengubah nuansa hubungan industrial. Jika pada era sebelumnya hanya dikenal satu-satunya serikat pekerja yaitu SPSI, maka saat ini jumlah serikat pekerja (SP) atau serikat buruh (SB) mungkin sudah mencapai ratusan SP/SB. Permasalahan menjadi bertambah dengan kurangnya kesadaran para pekerja/buruh untuk mematuhi rambu-rambu peraturan ketenagakerjaan atau undang-undang perburuhan  sehingga banyak terjadi gejolak hubungan industrial akibat adanya unsur pemaksaan kehendak yang cenderung mengarah pada tindakan anarkis oleh pekerja pada saat mereka menuntut haknya.
Di sisi lain para pengusaha sedang menghadapi dilema akibat krisis multidimensi. Meskipun tidak diingkari bahwa ada juga beberapa pengusaha yang tidak / belum mau mengakomodir keinginan para pekerjanya agar diperlakukan sebagai mitra sejajar dalam kegiatan produksi perusahaannya.
`           Jika diperhatikan secara cermat ada beberapa alasan mengapa para pengusaha tidak mau berunding dengan para buruh jika terjadi tuntutan:
1.      Ketidakmampuan pengusaha (dalam hal ini diwakili oleh pihak manajemen) dalam memenuhi tuntutan pekerja sebagai akibat dari rendahnya produktivitas atau defisit keuangan yang dialami perusahaan.
2.      Adanya fakta-fakta yang ditemukan oleh pengusaha bahwa aksi unjuk rasa atau pemogokan bukan murni merupakan aspirasi seluruh pekerja di perusahaan tersebut tetapi merupakan provokasi pihak lain. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kasus para buruh yang berunjuk rasa atau mogok kerja tidak tahu apa yang menjadi tuntutan dalam aksi tersebut, mereka ikut dalam aksi tersebut karena dipaksa.
3.      Pengusaha sengaja tidak merespons keinginan para pekerja karena pengusaha menganggap seandainya terjadi mogok dan unjuk rasa, maka perusahaan dapat ditutup untuk sementara sampai keadaan menjadi reda; selanjutnya perusahaan dibuka kembali dengan merekrut pekerja baru.
4.      Pengusaha membiarkan unjuk rasa dan mogok kerja terjadi untuk kemudian dilakukan PHK. Dalam banyak kasus pengusaha yang melakukan hal tersebut tidak mendapatkan sanksi apapun dari pihak terkait (Depnakertrans) sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia.
5.      Tuntutan pekerja secara baik-baik tanpa disertai unjuk rasa dan mogok kerja seringkali diabaikan atau tidak direspons oleh pengusaha karena pengusaha beranggapan bahwa nantinya tuntutan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Dalam hal ini pengusaha seringkali terlalu percaya diri atau terlalu yakin bahwa sistem yang dijalankan di perusahaannya adalah yang terbaik sehingga tidak perlu lagi mendengarkan tuntutan pekerja.















BAB IV
Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Dalam hubungan industrial dikenal unsur tripartit yaitu Pengusaha, Serikat Pekerja/Buruh (yang mewakili tenaga kerja) serta Pemerintah (dalam hal ini Depnakertrans). Unsur Pemerintah diharapkan bertindak sebagai fasilitator yang tidak memihak diantara dua unsur pertama. Namun dalam kenyataannya pemerintah ternyata tidak dapat menjalankan peran tersebut dengan baik. Hal ini terbukti dari lahirnya peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan yang cenderung kontroversial, seperti UU no. 21/2000 dan Kepmen No. 150/2000. Selain itu perangkat peraturan perundangan ketenagakerjaan yang ada seringkali berubah-ubah dan banyak yang sudah ketinggalan jaman (out of date).
Dalam kasus-kasus mogok kerja dan unjuk rasa yang berakhir dengan tindakan-tindakan anarkis peran pemerintah (Depnakertrans dan termasuk juga kepolisian) memang sangat dinantikan. Hal ini dipandang krusial mengingat bahwa kasus unjuk rasa telah melibatkan banyak pihak dan menjadi sorotan bagi pengusaha asing yang mau menanamkan modalnya di Indonesia untuk melihat sejauh mana hukum dapat ditegakkan di Republik ini.
Saran 
Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari maka penulis mengusulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Perlu adanya komunikasi dua arah dan terus-menerus antara pengusaha dan pekerja untuk mencegah prasangka dari kedua belah pihak sehingga tercapai hubungan industrial yang baik.
2.      Pihak pengusaha sebaiknya merespon tuntutan buruh secara cepat dengan melakukan pendekatan-pendekatan pada perwakilan serikat buruh/pekerja, sehingga unjuk rasa dan mogok kerja dapat dicegah atau paling sedikit unjuk rasa atau mogok tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi perusahaan dan pekerja.
3.      Pemerintah perlu bertindak cepat dan proaktif dalam menyelesaikan perselisihan buruh/pekerja dengan pengusaha sehingga tindakan anarkis dapat dicegah.
4.      Pemerintah perlu segera menyusun perangkat perundangan ketenagakerjaan terutama yang menyangkut unjuk rasa dan mogok kerja sehingga tidak merusak citra Indonesia di mata investor.
5.      Perlu adanya tindakan tegas dan adil dalam menindak para pelaku unjuk rasa & mogok kerja maupun pihak lain yang bertindak anarkis.
















BAB V
Daftar Pustaka

Handoko, T Hani, Dr, MBA. Manajemen Personalia & Sumber Daya Manusia cetakan ke sembilan belas. 2005. BPFE UGM. Yogyakarta.
Khakim, Abdul. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. 2009. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen Hubungan Industrial. 2009. Jala Permata Aksara. Jakarta.
Kompas 31 Maret 2001
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
http://id.wikipedia.org/wiki/Manajemen_hubungan_industrial

0 comments:

Post a Comment