Monday, February 2, 2015

makalah manajemen kinerja Studi Kasus: PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Holding Company)



BAB I
Pendahuluan

            Krisis ekonomi yang berkepanjangan khususnya yang dialami di negara ini, juga telah berdampak kepada krisisnya usaha di berbagai industri yang ada di Indonesia. Banyak usaha yang dilakukan oleh perusahaan agar bisa keluar dari masa krisis ini antara lain:
1.      Mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali investasi yang akan ditanamkan
2.      Mencari peluang-peluang dan pasar baru yang mungkin bisa dimasuki
3.      Melakukan penghematan di berbagai bidang
4.      Melakukan update dalam berbagai pendekatan manajemen di dalam mengelola aktivitas usahanya
Salah satu update data yang banyak dilakukan oleh berbagai perusahaan adalah berkaitan dengan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Berbagai pendekatan dicoba diterapkan untuk mampu mengelola dan memberdayakan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusianya agar mampu menghasilkan kinerja yang optimal. Salah satu pendekatan yang berkaitan dengan pendekatan manajemen ini adalah Manajemen Kinerja.
Manajemen kinerja adalah proses komunikasi yang berlangsung terus menerus yang dilaksanakan berdasarkan kemitraan, antara seorang karyawan dengan penyelia langsungnya. Menurut Robert Bacal (1999) manajemen ini meliputi upaya membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang:
1.      Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari karyawan
2.      Seberapa besar kontribusi pekerjaan karyawan bagi pencapaian tujuan organisasi
3.      Apa arti konkretnya melakukan pekerjaan dengan baik
4.      Bagaimana karyawan dan penyelianya bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki maupun mengembangkan kinerja karyawan yang sudah ada sekarang
5.      Bagaimana prestasi kerja akan diukur
6.      Mengenali berbagai hambatan kinerja
Dengan berbagai upaya yang dilakukan melalui manajemen kinerja ini, diharapkan baik karyawan, manajer dan pihak perusahaan akan mempunyai visi yang sama akan pentingnya mengoptimalkan dan meningkatkan kinerja sehingga secara keseluruhan yang akan mampu meningkatkan produktivitas perusahaan.
Salah satu cara meningkatkan kinerja karyawan adalah dengan melakukan pelatihan atau training. Secara pragmatis program pelatihan memiliki dampak positif baik bagi individu maupun organisasi. Smith dalam buku Jusuf Irianto (2001) menguraikan profil kapabilitas individual berkaitan dengan skills yang diperoleh dari pelatihan. Seiring dengan penguasaan keahlian atau keterampilan yang diterima individu akan meningkat. Pada akhirnya hasil pelatihan akan membuka peluang bagi pengembangan karier individu dalam organisasi. Dalam konteks seperti ini peningkatan karir atau promosi ditentukan oleh pemilikan kualifikasi skills. Sementara dalam situasi sulit dimana organisasi cenderung mengurangi jumlah karyawannya, pelatihan memberi penguatan bagi individu dengan memberi jaminan jobs security berdasarkan penguasaan kompetensi yang dipersyaratkan organisasi. Smith menambahkan bahwa pelatihan memiliki peran yang sangat penting bagi organisasi dalam memberi kontribusi pada tiga permasalahan utama, yaitu :
1.      Training and development has the potential to improve labour productivity.
2.      Training and development can improve the quality of that output; a more highly trained employee is not only more competent at the job but also more aware of the significance of his or her action.
3.      Training and development improves the ability the organization to cope with change; the successful implementation of change whether technical (in the form of new technologies) or strategies (new products, new markets, etc) relies on the skills of the organization’s member.
Saat kompetisi antar organisasi berlangsung sangat ketat, persoalan produktifitas menjadi salah satu faktor penentu keberlangsungan organisasi disamping persoalan kualitas dan kemampuan karyawan. Program pelatihan dapat memberi jaminan pencapaian ketiga persoalan tersebut pada peringkat organisasi.

BAB II
Tinjauan Teoritis
Manajemen Kinerja
            Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan organisasi. Pencapaian tujuan organisasi menunjukkan hasil kerja/prestasi organisasi dan menunjukkan kinerja organisasi. Hasil kerja organisasi diperoleh dari serangkaian aktivitas yang dijalankan. Aktivitas tersebut dapat berupa pengelolaan sumber daya organisasi maupun proses pelaksanaan kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi.  Untuk menjamin agar aktivitas tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan upaya manajemen dalam pelaksanaan aktivitasnya.
            Beberapa definisi dari manajemen kinerja diungkapkan oleh para ahli sebagai berikut: (Wibowo, 2007):
1.      Manajemen kinerja sebagai proses komunikasi yang dilakukan secara terus menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasan langsungnya. Proses komunikasi ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan (Bacal, 1994).
2.      Manajemen kinerja sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar, dan persyaratan-persyaratan atribut yang disepakati (Armstrong, 2004).
3.      Manajemen kinerja merupakan gaya manajemen yang dasarnya adalah komunikasi terbuka antara manajer dan karyawan yang menyangkut penetapan tujuan, memberikan umpan balik baik dari manajer kepada karyawan maupun sebaliknya (Schwartz, 1999).
Dengan memperhatikan pendapat para ahli, maka dapat dirumuskan bahwa pada dasarnya manajemen kinerja merupakan gaya manajemen dalam mengelola sumber daya yang berorientasi pada kinerja yang melakukan proses komunikasi secara terbuka dan berkelanjutan dengan menciptakan visi bersama dan pendekatan strategis serta terpadu sebagai kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan organisasi. Atau dapat dikatakan hakikat manajemen kinerja adalah bagaimana mengelola seluruh kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Manfaat Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja tidak hanya memberi manfaat kepada organisasi saja tetapi juga kepada manajer dan individu. Bagi organisasi, manfaat manajemen kinerja adalah menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan tim dan individu, memperbaiki kinerja, memotivasi pekerja, meningkatkan komitmen, mendukung nilai-nilai inti, memperbaiki proses pelatihan dan pengembangan, meningkatkan dasar ketrampilan, mengusahakan perbaikan dan pengembangan berkelanjutan, mengusahakan basis perencanaan  karier, membantu menahan pekerja terampil agar tidak pindah, mendukung inisiatif kualitas total dan pelayanan pelanggan, mendukung program perubahan budaya.
Bagi manajer, manfaat manajemen kinerja antara lain: mengupayakan klarifikasi kinerja dan harapan perilaku, menawarkan peluang menggunakan waktu secara berkualitas, memperbaiki kinerja tim dan individual, mengusahakan penghargaan nonfinansial pada staf, membantu karyawan yang kinerjanya rendah, digunakan untuk mengembangkan individu, mendukung kepemimpinan, proses motivasi dan pengembangan tim, mengusahakan kerangka kerja untuk meninjau ulang kinerja dan tingkat kompensasi.
Bagi individu, manfaat manajemen kinerja antara lain dalam bentuk: memperjelas peran dan tujuan, mendorong dan mendukung untuk tampil baik, membantu pengembangan kemampuan dan kinerja, peluang menggunakan waktu secara berkualitas, dasar objektivitas dan kejujuran untuk mengukur kinerja, dan memformulasi tujuan dan rencana perbaikan cara bekerja dikelola dan dijalankan.
Apabila pekerja telah memahami tentang apa yang diharapkan dari mereka dan mendapat dukungan yang diperlukan untuk memberikan kontribusi pada organisasi secara efisien dan produktif, pemahaman akan tujuan, harga diri dan motivasinya akan meningkat. Dengan demikian, manajemen kinerja memerlukan kerja sama, saling pengertian dan komunikasi secara terbuka antara atasan dan bawahan.


Pelatihan (Training)
Secara historis organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki ukuran besar dengan sistem kerja yang terbirokrasi. Sistem tersebut didedikasikan pada semua pelaku pekerjaan (karyawan) dengan fungsi-fungsi yang terdefinisikan secara jelas lewat job description dan melakukan pekerjaannya sesuai dengan kapasitas keahlian melalui model spesialisasi kerja. Pengendalian yang ketat merupakan cara lazim untuk mencapai keberhasilan organisasi.
Situasi saat ini telah berubah. Organisasi yang berukuran besar justru merupakan organisasi yang lamban berjalan dan lambat dalam mengambil keputusan. Birokratisasi menjadi semacam momok untuk bertindak cepat dan cekatan sehingga masalah-masalah urgent menjadi lambat dalam pengatasannya. Semua pihak dalam organisasi harus berani menyeberang menuju pada semua fungsi yang berjalan di organisasi dan melewati batas-batas peran dan spesialisasi.
Pembelajaran bagi komunitas organisasi dikenal dalam satu bentuk yang disebut sebagai pelatihan (training). Dengan demikian dapat diklarifikasikan bahwa perubahan manajemen organisasi dalam segala bentuknya mensyaratkan adanya berbagai pemenuhan skills, knowledge dan ability melalui proses pembelajaran dalam format pelatihan.
Secara pragmatis program pelatihan memiliki dampak positif baik bagi individu maupun organisasi. Smith (1997) menguraikan profil kapabilitas individual berkaitan dengan skills yang diperoleh dari pelatihan. Seiring dengan penguasaan keahlian atau keterampilan yang diterima individu akan meningkat. Pada akhirnya hasil pelatihan akan membuka peluang bagi pengembangan karier individu dalam organisasi. Dalam konteks seperti ini peningkatan karir atau promosi ditentukan oleh pemilikan kualifikasi skills. Sementara dalam situasi sulit dimana organisasi cenderung mengurangi jumlah karyawannya, pelatihan memberi penguatan bagi individu dengan memberi jaminan jobs security berdasarkan penguasaan kompetensi yang dipersyaratkan organisasi.
Penyebab Pemberian Pelatihan
Terdapat beberapa fenomenal organisasional yang dapat dikategorikan sebagai gejala pemicu timbulnya kebutuhan pelatihan. Tidak tercapainya standar pencapaian kerja, karyawan tidak mampu melaksanakan tugasnya, karyawan tidak produktif, tingkat penjualan menurun, tingkat keuntungan menurun, dan seterusnya adalah sebagian contoh dari gejala-gejala yang umumnya terjadi dalam organisasi. Menurut Blanchard & Huszezo (1986) gejala-gejala (symptoms) tersebut membutuhkan kebijakan untuk mengubah atau memperbaiki faktor-faktor penyebabnya. Suatu gejala yang membutuhkan pengatasan suatu masalah yang diakibatkan oleh suatu atau beberapa faktor. Sedangkan penyebab munculnya gejala merupakan faktor yang harus diubah untuk menghilangkan masalah organisasi. Blanchard & Huszezo mencontohkan adanya tujuh gejala organisasi yang membutuhkan pengatasan yaitu :
1.      Low productivity.
2.      High absenteeism.
3.      High turnover.
4.      Low employee morale.
5.      High grievances.
6.      Strikes.
7.      Low provitability.
Ketujuh gejala tersebut sangat umum dijumpai dalam organisasi yang dapat disebabkan oleh setidaknya tiga faktor yang meliputi :
1.      Kegagalan dalam memotivasi karyawan.
2.      Kegagalan organisasi dalam memberi sarana dan kesempatan yang tepat bagi karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya, dan
3.      Kegagalan organisasi memberi pelatihan secara efektif kepada karyawan.
Sekalipun demikian permasalahan yang muncul dalam organisasi tidaklah dibatasi oleh tujuh gejala tersebut di atas. Daftar gejala akan semakin bertambah demikian pula halnya dengan sunber-sumber atau faktor penyebab munculnya masalah tersebut juga beraneka ragam.
Terdapat berbagai macam argumentasi yang dapat menjelaskan mengapa organisasi tidak memiliki komitmen tinggi terhadap pelatihan. Kesemuaan argumentasi tersebut mengarah pada persepsi manajer yang secara rinci dikonseptualisasikan oleh Krause (1996) dalam buku Jusuf Irianto (2001) kedalam lima mitos pelatihan:
1.      Manajer beranggapan bahwa semua pekerja yang ada sudah memeiliki pengalaman yang memadai. Manajer beranggapan bahwa semua pekerja yang ada sudah memiliki pengalaman sehingga tidak memerlukan lagi pelatihan karena semua proses pekerjaan sudah dikuasai berdasarkan pengalaman kerja yang mereka miliki selama bertahu-tahun. Jadi manajer disini dianggap sebagai pimpinan yang tidak mengikuti perubahan dan kemajuan zaman serta menandakan bahwa dirinya tidak mampu membedakan antara experience dengan competence.
2.      Pelatihan sudah pernah diadakan namun tidak memiliki hasil yang signifikan bagi kemajuan organisasi mitos seperti ini dianggap paling berpengaruh bagi persepsi manajer untuk meniadakan program pelatihan karena dianggap sebagai pemborosan belaka. Persepsi tersebut dapat diubah dengan penyadaran bahwa pelatihan bukanlah sekedar sebuah entertainment event tetapi lebih merupakan sebuah proses yang terus menerus dan akhirnya memberi penguatan individual dan organisasional.
3.      Manager beranggapan bahwa organisasi yang dipimpinnya terlalu kecil untuk mampu mengadakan pelatihan. Harus diingat bahwa pelatihan tidak memandang apakah organisasi itu besar atau kecil. Program pelatihan berlaku bagi semua organisasi dan dalam segala ukurannya.
4.      Manajer beranggapan bahwa program pelatihan membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga mengurangi kekuatan organisasi atau bahkan mengganggu struktur anggaran belanja perusahaan. Manajer yang beranggapan seperti ini tidak pempertimbangkan bahwa biaya untuk sebuah incompetence yang melekat pada karyawan sesungguhnya akan lebih besar jumlahnya dari pada untuk sebuah pelatihan
5.      Manajer selalu berpikir bahwa organisasi tidak memiliki waktu lagi untuk melatih karyawan (we do not have time). Pelatihan dianggap sebagai pemborosan biaya juga dinilai sebagai buang-buang waktu.

Menurut Schuler, Dowling, Smart, & Huber (1992) pertimbanganp-pertimbangan utama yang harus diperhatikan dalam implementasi program pelatihan mencakup enam perkara :
1.      Who participates in the program (siapa harus ikut sebagai partisipan dalam pelatihan)?
Umumnya program pelatihan dirancang untuk memberi pembelajaran atas kebutuhan penguasaan skills tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa program pelatihan hanya memiliki satu jenis kelompok partisipan sebagai sasaran pembelajaran. Sekalipun demikian terdapat berbagai macam pelatihan yang dihadiri oleh lebih dari satu jenis kelompok partisepan. Dengan adanya beberapa kelompok peserta dalam pelatihan secara bersama-sama akan dapat memfasilitasi proses-proses kelompok pembelajaran seperti dalam problem solving dan decision making, dimana keduanya merupakan elemen-elemen yang sangat berguna dalam proyek quality circle dan kelompok kerja semi otonom.
2.      Who teaches the program (siapa yang memberi pengajaran dalam pelatihan) ?
Program pelatihan kemungkinan dapat menentukan dari beberapa sumber untuk menentukan siapa yang berkompeten. Sumber-sumber tersebut secara ederhana dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu : sumber internal dan sumber ekstrnal.Dari sumber internal program pelatihan dapat menentukan penyelia (supervisior), pekerja yang memeiliki pengalaman atau terlebih dahulu mendapat pengalaman atau manajer-manajer yang memiliki pengetahuan tertenttu.Sedangkan dari sumber eksternal, dapat ditentukan pihak-pihak seperti para spesialis yang ada di berbagai organisasi, konsultan, asosiasi perusahaan atau industri, serta pengajar dari perguruan tinggi yang memiliki kompetensi di bidang tertentu.
3.      what media were used to teach (media apakah yang akan digunakan dalam proses pembelajaran) ?
Terdapat berbagai macam jenis media dengan apa orang dapat menggunakannya sebagai cara dalam pelatihan. Jika pelatihan diadakan disebuah perguruan tinggi misalnya, umumnya media yang digunakan adalah dengan cara kuliah, kombinasi kuliah dengan diskusi, studi kasus serta instruksi terprogram.
4.       What is the level of lerning (pada tingkat pembelajaran apakah pelatihan diadakan) ?
Ada empat kategori level pembelajaran yang diarahkan pada jenis skils akan diajarkan dalam pelatihan yaitu :
(a) Basic skills
(b) Basic job skills
(c) interpersonal skills
(d)   Boarder base conceptual skills
5.      What principles are needed (prinsip-prinsip rancangan pelatihan apakah yang dibutuhkan) ?
Program pelatihan dapat dikategorikan mencapai efektifitas optimal jika dikaitkan dengan prinsip-prinsip pembelajaran kritis sebagai acuan. Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut antara lain :
(a) Motivasi karyawan
(b) Pengakuan adanya perbedaan individual
(c) Peluang-peluang yang diberikan untuk praktek
(d) Penguatan (reinforcement)
(e) Umpan balik (knowledge of result atau feedback)
(f) Tujuan
(g) Kurva pembelajaran (learning curve)
(h) Transfer pembelajaran (transfer of learning)
(i) Tindak lanjut (follow up)
6.      Where is the program to be conducted (dimana program akan dilakukan) ?
Pertimbangan terakhir dalam implementasi program keputusan tentang dimana pelatihan akan dilakukan dihadapkan pada setidaknya tiga pilihan yaitu:
(a) Di unit kerja
(b) Di tempat kerja tetapi tidak di unit kerja, yaitu di ruang khusus sustu organisasi
(c) Di luar arena tempat kerja seperti di perguruan tinggi, di kantor pusat konfrensi atau di tempat lainnya.
Jika dikaitkan dengan tingkat skills yang dibutuhkan, basic skills umumnya diajarkan di tempat kerja. Sementara beberapa skills yang mengkombinasikan interpersonal dan koseptual dilakukan di luar arena kerja. Untuk mencapai tujuan-tujuan efektifitas diskusi dan menjadikan program berlangsung konsisten, pelatihan acap dilakukan di dalam organisasi yang disebut dengan on the job yang meliputi baik di unit kerja, di tempat kerja, maupun diluar tempat kerja.



Program Pelatihan
Ada tiga jenis pemrograman pelatihan dilihat berdasarkan tempat pelaksanaanya, yaitu :
1.      Program On the Job; program pelatihan ini acap dikembangkan dan diimplemen  tasikan organisasi secara formal sekalipun ada juga yang mengembangkannya secara tidak formal.
2.      Program On Site but not On the Job ; Program ini sangat sesuai untuk organisasi yang membutuhkan after-hour programs dimana organisasi menghendaki agar karyawan tetap keep in touch dengan pekerjaannya. Metode ini juga sesuai untuk karyawan yang ingin meng-up date keahlian dan pengetahuannya.
3.      Program Off the Job ; dalam program ini ada enam metode yang dapat digunakan untuk karyawan non-manajerial dan karyawan manajerial yaitu metoda formal course, simulation, human relations role playing, human relation sensitivity training, case discussion, dan wilderness training.

Evaluasi Program Pelatihan
            Program pelatihan harus mampu menghasilkan produk tertentu. Produk tersebut merujuk pada kebutuhan untuk mengubah keadaan setelah program diadakan. Oleh karena itu peran evaluasi program pelatihan sangatlah vital untuk memastikanbahwa semua sumber daya yang akan digunakan mampu memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Evaluasi program dimaksudkan sebgai pemenuhan keberadaan arti atau nilai signifikan sebuah program pelatihan dan hubungannya dengan tujuan dan sasaran yang harus dikembangkan. Evaluasi tidak sekedar difokuskan pada assessing the learners, meskipun hasil penilian individual tersebut juga merupakan pertimbangan utama dalam perencanaan.
Evaluasi pelatihan merupakan analisis atas arti atau nilai pelatihan melalui proses pengumpulan informasi secara sistematis tentang program pelatihan itu sendiri, partisipan, pelatihan, rancangan, metode, sumber daya dan material yang digunakan, serta outcomes pelatihan. Evaluasi dapat dilakukan serentak melibatkan semua komponen atau dapat pula secara parsial.
Fokus analisis dalam evaluasi terletak pada dua isu. Pertama, efektifitas program. Fokus ini berkaitan dengan apakah benar program pelatihan telah mencapai hal yang sesungguhnya ingin dicapai. Isu kedua yaitu nilai (value) atas program yang berkaitan dengan apakah upaya (efforts) dan biaya (cost) yang telah dikeluarkan memiliki makna signifikan (worthwhile). Dalam hal ini dapat dibuat hubungan positif antara strategi dan evaluasi. Strategi dalam konteks ini adalah tentang identifikasi tujuan program dan memastikan bahwa rancangan dan penyelenggaraan pelatihan berada pada rel yang benar (on the right track). Sedangkan evaluasi merupakan pengujian untuk melihat apakah strategi tersebut correct atau tidak. Ketiga tahapan proses pelatihan di atas merupakan satu kesatuan yang harus mendapat perhatian seksama untuk mencapai pelatihan yang efektif. Kegagalan manajer pelatihan dalam mencapai efektifitas umumnya disebabkan pengabaian salah satu dari tahapan tersebut.
            Tovey (1997) mendefinisikan evaluasi pelatihan secara komperhensif dengan mencakup semua aspek yaitu sebagai : “the analysis of the worth of a training program trough a systematic process of collection of information on the training program, the participant, the traniners, the design, methods, resources and material used and the outcomes of the training”. Berdasarkan rumusan definitive tersebut, makna evaluasi pelatihan dapat dipahami secara komperhensif sebagai upaya memperoleh informasi yang mencakup:
1.      Program pelatihan itu sendiri
2.      Peserta
3.      Pelatih
4.      Disain atau rancangan pelatihan
5.      Metode pelatihan
6.      Sumber daya yang digunakan, misalnya keuangan
7.      Bahan-bahanyang digunakan dan
8.      Outcome atau dampak pelatihan
Dengan demikian maka setiap upaya pelaksanaan evaluasi pelatihan minimal harus mencakup kedelapan aspek tersebut di atas. Jika makna evaluasi pelatihan dapat dipahami secara benar dan selanjutnya dilaksanakan secara konsisten, maka dua persoalan esensial yaitu efektifitas dan nilai bagi organisasi dapat dipastikan pengukurannya.
BAB III
Analisis

Studi Kasus: PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Holding Company)
Sebagai sebuah perusahaan Agro Industri, Farmasi & Alat Kesehatan dan Perdagangan, keberadaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang lebih dikenal dengan PT RNI tidak lepas dari nama sebuah perusahaan perdagangan hasil bumi yang didirikan oleh Oei Tjien Sien dengan nama NV Handel My Kian Gwan bertempat di Semarang – Jawa Tengah pada 1 Maret 1863. Perkembangan selanjutnya perusahaan tersebut diturunkan kepada putranya bernama Oei Tiong Ham. Ditangan putranya ini perusahaan terus berkembang menjadi perusahaan holding. Bidang usahanya meliputi; perdagangan, industri gula, perkebunan karet, industri farmasi, jasa keuangan, properti dan lain – lain.
Dalam perkembangannya, PT RNI sebagai Induk Perusahaan dan pemegang saham senantiasa melakukan kajian terhadap kinerja seluruh anak perusahaan sehingga perseroan dapat melakukan upaya peningkatan kesehatan bisnisnya secara berkelanjutan. Anak Perusahaan yang tidak memberikan prospek positif di divestasi. Sebaliknya, anak perusahaan yang terbukti kinerjanya selalu meningkat akan semakin dikembangkan dan dibesarkan. Strategi ini yang memungkinkan PT RNI pada 2011 menjadi sebuah induk perusahaan investasi dengan jumlah asset lebih dari Rp. 5,09 triliun (per 31 Desember 2011) dan Jaringan usaha tersebar di seluruh nusantara melalui 13 Anak Perusahaan dan tujuh afiliasi, mengoperasikan 48 Kantor Cabang dan 18 Unit produksi terdiri dari 10 Pabrik Gula, dua Pabrik Alkohol, satu Pabrik Farmasi, dua Pabrik Alat Kesehatan, dua Perkebunan Sawit serta satu perkebunan teh yang didukung oleh lebih dari 7.401 Karyawan tetap.




Penerapan Manajemen Kinerja di PT. RNI
-          Mengedepankan Keberagaman dan Kesetaraan Kesempatan
Memiliki tiga kelompok usaha yang berbeda dan padat karya memberikan manfaat keberagaman bagi perusahaan, baik dari sisi budaya, sosial ekonomi, maupun latar belakang pendidikan. Program asimilasi karyawan di seluruh unit usaha diciptakan agar semua karyawan berkesempatan untuk mencoba lingkungan bekerja dan tantangan yang baru.
-          Meningkatkan Kompetensi
Melakukan penilaian (assesment) secara menyeluruh di semua tingkatan jabatan setiap 2 (dua) tahun sekali. Selain itu, memberikan pelatihan secara merata dengan tujuan untuk menjembatani pemahaman standar industri yang terus berkembang.
-          Kekuatan dalam Kebersamaan
Untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, secara berkala diadakan gathering seluruh karyawan di semua tingkat jabatan, juga Porseni (Pekan Olahraga dan Kesenian) yang diselenggarakan setiap 2 tahun. Pembentukan Serikat Pekerja sebagai media dialog bagi manajemen dan karyawan sekaligus diharapkan dapat menjadi agen perubahan bagi perusahaan.
Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan tingkat kompetensi yang bersaing dan memiliki produktifitas di atas rata-rata di setiap industri adalah tertuang dalam visi perusahaan dalam mengembangkan SDM. Untuk mencapai visi tersebut maka perusahaan menetapkan indikator kinerja pengembangan SDM sebagai tolok ukur tahap-tahap pencapaiannya. Indikator kinerja tersebut antara lain meliputi tingkat produktifitas, kepuasan kerja dan kaderisasi untuk menjaga sustainabilitas perusahaan.
Pengembangan SDM dilakukan melalui empat pilar strategi yaitu:
1.      Membangun organisasi yang tangguh
2.      Profesionalisme pengelolaan kinerja karyawan
3.      Pengembangan SDM berbasis kompetensi serta moral & motivasi pada tingkat yang dinamis
4.      Strategi berlandaskan pada nilai-nilai perusahaan dan praktek Good Corporate Governance (GCG)
Strategi pengembangan SDM dilakukan pula dengan cara: memberikan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kompetensi yang berdasarkan analisa kebutuhan, hasil penilaian kinerja, assessment atau pengembangan karir. Pelatihan yang diberikan oleh perusahaan dibagi menjadi 3 kelompok besar yaitu: Pelatihan/Pengembangan Kompetensi Teknis fungsional, Pelatihan/Pengembangan Kompetensi Managerial, Pelatihan/Pengembangan Kompetensi Bisnis Strategik.
Pengembangan kompetensi teknis fungsional dilakukan untuk meningkatkan keterampilan (skill) karyawan guna mendukung kinerja di bidang tugasnya. Pengembangan ini didasarkan pada kebutuhan spesifikasi pekerjaan agar karyawan mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan guna mencapai kinerja perusahaan. Pelatihan teknis fungsional termaksud: seminar, training, workshop, lokakarya, study banding dll, mulai dari level karyawan pelaksana sampai dengan karyawan pimpinan.
Pelatihan/Pengembangan Kompetensi Managerial meliputi:
-          Basic Magement Development Program (BMDP) dilaksanakan dengan tujuan memberikan pelatihan jabatan paling dasar sebagai prasyarat untuk dapat memperoleh jabatan managerial dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
-          Middle Magement Development Program (MMDP) merupakan pelatihan jabatan karyawan pimpinan level menengah setingkat kabag/manager/kacab sebagai prasyarat untuk memperoleh jabatan managerial dan melanjutkan ke jenjang pelatihan yang lebih tinggi.
-          Strategic Management Development Program (SMDP) merupakan pogram penjenjangan ketiga dari serial program pelatihan jabatan para Manager Senior dilingkungan PT RNI.
-          Senior Executive Development Program (SEDP) merupakan perjenjangan tertinggi dari serial program dan merupakan pembekalan bagi eksekutif lingkup PT RNI.

Program pengembangan potensi karyawan, Pendidikan Pra Kualifikasi (P2K) merupakan program pendidikan prakualifikasi dengan program seleksi calon karyawan pimpinan dari sumber internal perusahaan. Program ini ditujukan untuk menjaring karyawan potensial yang dapat ditingkatkan kompetensinya dan mampu mengemban tugas dan tanggungjawab sebagai karyawan pimpinan di lingkungan RNI Group. Untuk mengikuti program ini karyawan harus memiliki beberapa persyaratan dan tahapan seleksi yang diatur dalam ketentuan SK no. 348/SK/PT RNI.01/XII/2003 tentang ketentuan dan prosedur rekrutment dan seleksi calon karyawan pimpinan jalur internal di lingkungan RNI Group. P2K telah menghasilkan 15 angkatan dengan jumlah alumnus sebanyak 372 karyawan.
Selain program pengembangan/pelatihan, sistem remunerasi selalu mendapat perhatian khusus dari manajemen, sistem penilaian secara on line oleh atasan maupun rekan sekerja telah disosialisasikan dan dilaksanakan pada tahun 2011, untuk menjaga moral dan motivasi karyawan telah dikembangkan program-program penghargaan karyawan yang sekaligus untuk merangsang peningkatan produktifitas. Program tersebut antara lain: Festival Inovasi (Inovation Award), Penghargaan Sinder berprestasi (Sinder Award) dan Penghargaan Karyawan Teladan.
Seiring dengan perubahan visi bisnis manajemen PT RNI, maka divisi SDM menyusun rencana program pengembangan SDM Tahun 2012 untuk memenuhi kebutuhan diseluruh level karyawan meliputi:
-          Pengembangan    kompetensi    teknis    perlu    dilakukan penyesuaian dikarenakan bisnis perusahaan yang berkembang merambah pada bisnis pengembangan perkebunan kelapa sawit, pengembangan anak perusahaan yang mengelola bisnis peternakan sapi, pembangunan power plant, pengembangan industri persawahan dan pengembangan bisnis properti. Selain itu perusahaan juga akan melakukan optimalisasi kapasitas produksi PT Mitra Rajawali Banjaran (Kondom dan Alat Suntik) dan PT Rajawali Citramass (Karung Plastik)
-          Program    Pengembangan    Kompetensi    Direktur (Profesional Directorship Program). Perubahan organisasi perusahaan menuntut divisi SDM untuk segera melakukan program-program pengembangan kompetensi bagi para pimpinan baik di PT RNI Holding maupun para pimpinan di anak-anak Perusahaan. Program ini diselenggarakan dengan kombinasi metode Inhouse Training dan Public Training.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Penerapan manajemen kinerja di PT. RNI sudah cukup baik mengingat perusahaan ini adalah holding company yang mempunyai banyak anak perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam pelatihan sesuai level karyawan yang diberikan perusahaan. Perusahaan juga memberikan berbagai reward untuk memotivasi karyawan di masa datang. Selain itu perusahaan juga membentuk serikat pekerja sebagai sarana komunikasi antara pihak manajemen dan karyawan.
Evaluasi dari suatu program pelatihan yang sudah diterapkan penting untuk dilakukan dan dicermati. Banyak pihak tidak memahami evaluasi sebagai totalitas dari nilai dan efektifitas suatu kegiatan yang berkaitan dengan strategi jangka panjang perusahaan. Akibatnya besarnya sumber daya yang telah digunakan tidak diimbangi dengan hasil yang memuaskan. Evaluasi ditujukan untuk memastikan bahwa suatu pelatihan dapat dinilai berhasil atau gagal secara terukur.
Saran
            Perusahaan selalu melakukan penilaian menyeluruh terhadap karyawannya setiap 2 tahun sekali. Namun penilaian ini sebaiknya diikuti dengan feedback rutin yang diberikan atasan kepada karyawannya sehingga si karyawan tidak merasa terkejut dengan nilai dari penilaian akhir yang dilakukan. Kemudian pelatihan yang diberikan kepada karyawan yang bekerja di perkebunan harus dilakukan dengan tepat mengingat mereka bekerja tidak harus menggunakan skill khusus di lapangan.
            Pelatihan tentang sistem informasi sebaiknya terus dilakukan agar pertukaran informasi dan data-data yang diperlukan karyawan terintegrasi dengan baik antara anak-anak perusahaan dan induknya sehingga memudahkan pekerjaan mereka.

BAB V
Daftar Pustaka


Bacal, Robert. Performance Management. 1999. McGraw-Hill Companies, Inc. New York USA.
Blanchard, RN dan Huszczo.Toward a More Organizationally Effective Training Strategy and Practice. 1986. Prentice Hall.New Jersey.
Irianto, Jusuf. Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Pelatihan (Dari Analisa Kebutuhan Sampai Evaluasi Program Pelatihan).2001.Insan Cendikia.Surabaya.
Smith, A. Training and Development dalam Kramar, R, McGraw, P & Schuler, R. Human Resource Management in Australia. 1997. Addison W.L. South Melbourne.
Tovey, M.D. Training in Australia: Design, Delivery, Evaluation & Management. 1997. Prentice Hall. Sydney.
Wibowo. Prof, Dr, SE, M.Phil. Manajemen Kinerja. 2007. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
http://www.rni.co.id/id/sumber-daya-manusia


           



2 comments:

  1. bagus sebagai referensi bagi mahasiswa yang sedang membuat karya ilmiah
    karena content nya sudah di mplementasikan dalam kondisi organisasi ,yg selalu dibutuhkan oleh karyawan utk terus meningkatkan kompetensi sesuai kebutuhan organisasi dan sejalan dg visi misi organisasi tersebut

    ReplyDelete
  2. i need help please this for my school project thankyou so much

    http://rajawali.godaddysites.com/
    .

    ReplyDelete