Kuantitas Pemesanan
Ekonomis (EOQ)
Menghindari kekurangan dan kelebihan persediaan yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Beberapa hal yang dianggap
penting menurut Ahyari dalam bukunya efisiensi persediaan bahan (1999:48) yaitu
: “waktu rata-rata yang diperlukan untuk memesan, pemakaian rata-rata dalam
waktu rata-rata, biaya untuk menyimpan apabila ada persediaan yang berlebih,
dan kerugian yang mungkin bila persediaan berkurang.”
Economic Order Quantity (EOQ) merupakan salah satu model manajemen
persediaan, model EOQ digunakan untuk menentukan kuantitas pesanan persediaan
yang dapat meminimalkan biaya penyimpanan dan biaya pemesanan persediaan.
Economic Order Quantity (EOQ) adalah jumlah kuantitas barang yang dapat
diperoleh dengan biaya yang minimal, atau sering dikatakan sebagai jumlah
pembelian yang optimal.
Dalam kegiatan normal Model Economic Order Quantity memiliki
beberapa karakteristik antara lain :
a. jumlah barang
yang dipesan pada setiap pemesanan selalu konstan,
b. permintaan
konsumen, biaya pemesanan, biaya transportasi dan waktu antara pemesanan barang
sampai barang tersebut dikirim dapat diketahui secara pasti, dan bersifat
konstan,
c. harga per unit
barang adalah konstan dan tidak mempengaruhi jumlah barang yang akan dipesan
nantinya, dengan asumsi ini maka harga beli menjadi tidak relevan untuk
menghitung EOQ, karena ditakutkan pada nantinya harga barang akan ikut
dipertimbangkan dalam pemesanan barang,
d. pada saat
pemesanan barang, tidak terjadi kehabisan barang atau back order yang
menyebabkan perhitungan menjadi tidak tepat.
Oleh karena itu, manajemen harus menjaga jumlah pemesanan agar tidak
terjadi kehabisan barang,
e. pada saat
penentuan jumlah pemesanan barang kita tidak boleh mempertimbangkan biaya
kualitas barang,
f. biaya
penyimpanan per unit pertahun konstan.
Besarnya EOQ dapat ditentukan dengan berbagai cara, menurut
Hansen dan Mowen (2005:472) Economic Order Quantity akan menentukan jumlah
pesanan persediaan yang meminimumkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan.
Rumus EOQ :
EOQ =
TC = D x C + x S +
x H
TC = Total biaya pemesanan dan biaya
penyimpanan
D = Jumlah (dalam unit) yang dibutuhkan
selama satu periode tertentu,
misalnya satu tahun.
S = Biaya pesanan setiap kali pesan.
C = Harga pembelian per unit yang
dibayar.
I = Biaya penyimpanan dan pemeliharaan
digudang dinyatakan dalam
persentase dari nilai rata-rata dalam
rupiah dari persediaan.
H = Biaya Penyimpanan per unit barang per
tahun (Rp/unit/tahun)
= Jumlah (berapa kali) pesanan periode
waktu (jumlah/pesanan/tahun)
= Persediaan rata-rata
Dengan
adanya hal diatas, maka persediaan pengaman merupakan suatu sarana pencegah
terjadinya kekurangan persediaan. Persediaan pengaman yang paling optimal
adalah jumlah yang menghasilkan biaya paling rendah dalam suatu periode.
Titik Pemesanan Ulang
(Reorder Point/ROP)
Reorder Point ialah saat atau titik dimana harus diadakan
pesanan lagi sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang
dipesan itu tepat pada waktu dimana persediaan diatas safety stock sama dengan
nol. Dalam penentuan/penetapan Reorder Point haruslah kita memperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut :
a. penggunaan
barang selama tenggang waktu mendapatkan barang (procurement lead time),
b. besarnya
safety stock.
Reorder Point dapat ditetapkan dengan berbagai cara, antara
lain dengan :
1) menetapkan
jumlah penggunaan selama lead time dan ditambah dengan persentase tertentu.
Misalnya ditetapkan bahwa safety stock sebesar 50% dari penggunaan selama lead
time dan dtetapkan bahwa lead timenya adalah 6 hari, sedangkan kebutuhan barang
setiap harinya adalah 3 unit/hari.
ROP = (6 x 3) + 50% (6 x 3)
= 18 + 9
= 27 unit,
2) dengan
menetapkan penggunaan selama lead time dan ditambah dengan penggunaan selama
periode tertentu sebagai safety stock, misalkan kebutuhan selama 4 hari.
ROP = (6 x 3)
+ (4 x 3)
= 18 + 12
= 30 unit
Dari contoh yang terakhir ini dapatlah dikatakan bahwa
“reorder point”-nya adalah pada jumlah 30 unit, ini berarti bahwa pesanan harus
dilakukan pada waktu jumlah persediaan tinggal 30 unit.
Penentuan Pemesanan Persediaan Barang Dagangan dengan
Metode Economic Order Quantity (EOQ)
Pada bagian ini akan dibahas mengenai perhitungan persediaan
barang dagangan dengan Metode Economic Order Quantity (EOQ) yang dapat
meminimalkan biaya persediaan nantinya untuk barang Pepsi Cola.
a. Penentuan
Pemesanan Persediaan Barang dagangan dengan Metode EOQ terhadap Pepsi Cola.
Perhitungan Kuantitas Pesanan Ekonomis (EOQ) Pepsi Cola
adalah ;
Jumlah penggunaan Pepsi Cola selama 1 tahun = 1100 BIB
BIB adalah Bag In the Box
(1 BIB = 23,55 kg)
Biaya pemesanan setiap kali pesan = Rp.
4.625,-
Harga pembelian per unit yang dibayar = Rp. 70.650,-
Biaya penyimpanan setiap tahunnya (70.650 x 25%) =
Rp. 17.662,5,-
Diketahui ;
D = 1100 BIB
S =
Rp. 4.625,-
C = Rp. 70.650,-
H = Rp. 17.662,5,- (70.650 x 25%)
Jawaban ;
EOQ =
EOQ =
= = BIB
Pemesanan Pepsi Cola dalam 1 tahun : =
45,8 = kali
Total biaya
pemesanan dan biaya penyimpanan Pepsi Cola yang paling ekonomis yang dibutuhkan
dalam 1 tahun adalah :
TC = D x C + x S +
x H
TC24 = (1100 x 70.650) + x
4.625 + x 17.662,5
= Rp. 77.715.000 + Rp.
211.979 + Rp. 211.950
= Rp.
Ini berarti,
cara pemesanan yang paling ekonomis ialah pemesanan Pepsi Cola sebanyak 24 BIB
setiap kali pesan, yang ini berarti bahwa kebutuhan akan Pepsi Cola sebanyak
1100 BIB selama 1 tahun akan dipenuhi dengan 46 kali pesanan dengan jumlah
pesanan 24 BIB. Pada jumlah pesanan inilah tercapainya biaya pemesanan dan
biaya penyimpanan yang minimal.
Dari hasil
perhitungan diatas penulis akan mencoba menganalisa hasil perhitungannya,
apakah total biaya persediaan tersebut merupakan biaya yang paling rendah,
apabila setiap kali pesan jumlah persediaan Pepsi Cola yang dipesan di bawah
atau diatas EOQ (24 BIB).
Jika, Perhitungan TC pada pemesanan Pepsi Cola = 20 BIB
TC20 = (1100 x 70.650) + x
4.625 + x 17.662,5
= Rp. 77.715.000 + Rp.
254.375 + Rp. 176.625
= Rp.
Jika, Perhitungan TC pada pemesanan Pepsi Cola = 27 BIB
TC27 = (1100 x 70.650) + x
4.625 + x 17.662,5
= Rp. 77.715.000 + Rp.
188.426 + Rp. 238.444
= Rp.
Dari data
diatas, terlihat bahwa perhitungan pesanan persediaan barang dengan menggunakan
metode Economic Order Quantity (EOQ) akan meminimalkan pengeluaran biaya
penyimpanan dan biaya pemesanan. Total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
barang juga dapat digunakan seefisien mungkin dan menghindarkan terjadinya
persediaan yang menumpuk dan mengantisipasi kekurangan persediaan. Dari contoh
Pepsi Cola diatas, total biaya pada pesanan 20 BIB Rp. 78.146.000,- lebih rendah
Rp. 7.071,- (Rp. 78.146.000 - Rp. 78.138.929) dari total biaya pada pesanan
27 BIB Rp. 78.141.870,- juga lebih rendah Rp. 2.941,- (Rp. 78.141.870 - Rp.
78.138.929). Artinya bahwa jumlah
pesanan sebanyak 24 BIB dan dengan 46 kali pesanan dalam 1 tahun dengan total
biaya pemesanan dan biaya penyimpanan persediaan sebesar Rp. 78.138.929,- akan meminimalkan biaya – biaya persediaan,
dimana barang yang dipesan sesuai dengan kebutuhan operasional perusahaan.
Penentuan Titik
Pemesanan Ulang (Reorder Point) Persediaan Barang Dagangan
Dilihat dari contoh masalah pada PT. FastFood Indonesia
cabang Medan, diketahui juga bahwa permintaan persediaan Pepsi Cola setiap
penggunaannya di asumsikan 3 BIB dan waktu tunggunya adalah 5 hari, maka titik
pemesanan ulangnya dapat ditentukan yaitu :
d = 3 BIB
L = 5 hari
Reorder Point dapat ditetapkan dengan berbagai cara, antara
lain dengan :
a. menetapkan
jumlah penggunaan selama lead time dan ditambah dengan persentase tertentu. Misalnya
ditetapkan bahwa safety stock sebesar 60% dari penggunaan selama lead time dan
dtetapkan bahwa lead timenya adalah 5 hari, sedangkan kebutuhan barang setiap
harinya adalah 3 BIB/hari.
ROP = (5 x 3) + 60% (5 x 3)
= 15 +
9
= 24 BIB
b. dengan
menetapkan penggunaan selama lead time dan ditambah dengan penggunaan selama
periode tertentu sebagai safety stock, misalkan kebutuhan selama 4 hari,
ROP = (5 x 3)
+ (4 x 3)
= 15
+ 12
= 27 BIB
Dari contoh yang terakhir ini dapatlah dikatakan bahwa
“reorder point”-nya adalah pada jumlah 27 BIB, ini berarti bahwa pesanan harus
dilakukan pada waktu jumlah persediaan tinggal 27 BIB. Untuk titik pemesanan
ulang atau Reorder Point seperti pembahasan diatas yaitu pada saat Pepsi Cola
tinggal 27 BIB artinya adalah pesanan persediaan barang akan dilakukan kembali
ketika tingkat persediaan Pepsi Cola tersisa 27 BIB.
Manajemen Persediaan
dan Resiko
Manajemen persediaan
digambarkan sebagai proses untuk mengelola jumlah barang yang disimpan untuk
menunjang usaha atau bisnis yang digerakkan. Idealnya suatu sistem manajemen
persediaan bisa berada dalam tingkat paling ekonomis tanpa adanya potensi
resiko pada perusahaan. Resiko yang dimunculkan akibat adanya persediaan
adalah biaya persediaan, kerusakan barang, kehilangan barang serta space untuk penyimpanan barang. Jika meninjau komponen
resiko tadi, bisa dibayangkan bahwa manajemen persediaan yang tepat adalah mata
rantai dalam supply
chain management yang cukup vital.
Jika mengambil contoh
pada resiko biaya persediaan, maka harus dicermati jumlah pembelian berada pada
tingkat yang memenuhi permintaan dengan selisih yang mendekati 0 (Zero Inventory). Jika permintaan
berada pada angka 200 setiap minggu dan gudang membeli sejumlah 800, maka
dibutuhkan 4 minggu untuk menghabiskan persediaan. Dalam tingkat penjualan 200
maka gudang sudah menghabiskan biaya sejumlah 800. Yang disarankan adalah
memiliki persediaan ‘mendekati’ 200, atau bahkan dalam 1 minggu bisa memesan 2
kali atau beberapa kali pun untuk memenuhi angka permintaan 200. Variable ini
bisa lebih unik lagi jika memasukkan faktor Term Of Payment kepada supplier yang
lebih panjang dari Selling Point.
Resiko kerusakan,
kehilangan dan biaya space adalah biaya-biaya lain yang merugikan perusahaan.
Kerusakan dan kehilangan muncul karena handling, operasional dan administrasi
gudang yang tertata baik. Biaya space untuk penyimpanan adalah biaya yang
hilang karena menyimpan barang di saat space itu lebih tepat digunakan untuk
input lain yang lebih mempengaruhi tingkat output. Dari gambaran singkat mengenai resiko
persediaan, maka bisa dipastikan bahwa memiliki sistem manajemen persediaan yang
baik akan menghindarkan (atau paling tidak meminimalisir) perusahaan dari
sejumlah resiko biaya.
Mengelola Resiko
Pendapat saya mengenai
manajemen persediaan adalah mengelola resiko yang akan muncul akibat adanya
ketidaksesuaian persediaan dengan kebutuhan. Suatu tantangan bagi pekerja
di logistik untuk mengelola
munculnya resiko-resiko tadi, kata mengelola saya coba pakai karena untuk
benar-benar menghilangkan resiko dalam prinsip manajemen persediaan diperlukan
adanya ‘nilai’ dari mata rantai lain yang cukup sulit dikendalikan atau dalam
supply chain
management, mata rantai ini bisa dikatakan mata rantai yang lemah.
Bagian dari mata
rantai manajemen persediaan untuk mengelola resiko adalah ketika manajemen
persediaan dapat menyediakan jumlah barang pada waktu, jumlah, kualitas yang
tepat pada tingkat harga / biaya yang paling ekonomis. Ketika duduk di bangku
perkuliahan, lazim dipakai istilah Economic Order Quantity (EOQ) yang menjelaskan
rumus / logika mengelola persediaan pada jumlah yang paling ekonomis. Sayang
sekali jika EOQharus dikubur dalam-dalam atau paling
tidak membutuhkan sejumlah penyesuaian jika ingin dipakai dalam mengelola
persediaan di dunia kerja yang memiliki variable kompleks.
Untuk itu, dalam
mengelola resiko dengan megelola persediaan sangat terkait dengan karakteristik
industri / usaha masing-masing. Meski begitu prinsip-prinsip umum dapat
menjadi batasan untuk memiliki manajemen persediaan yang tepat. Berikut
beberapa prinsip-prinsip umum untuk manajemen persediaan :
- Persediaan dapat memenuhi permintaan serta tersedia buffer / penyangga pada tingkat tertentu.
- Tersedia nya suatu sistem (baik menggunakan Warehouse Management Systems atau pencatatan manual / ms. excel) yang memungkinkan untuk penghitungan stock dan pemesanan ke supplier.
- Adanya rumus untuk menghitung persediaan plus buffer yang dinyatakan di point no 1, lazimnya faktor-faktor yang diperhitungkan oleh rumus adalah : Average permintaan dalam periode tertentu, lonjakan permintaan beberapa periode terakhir, waktu tunggu dari supplier. Rumus nya sendiri bisa bermacam-macam, saya pernah sedikit mengulasnya pada tulisan saya Tingkat Persediaan [Ekonomis] Logistik.
- Mengelola dengan tepat faktor waktu / tempo pembayaran ke supplier dengan waktu / tempo revenue yang dihasilkan oleh aktifitas persediaan. Istilah yang lazim di sini adalah Inventory Days / Day Sales Inventory / Inventory Turn Over (Saya agak lupa, semoga ke-3 istilah itu sama artinya) yang merupakan hari persediaan dan menggambarkan waktu yang dibutuhkan sampai barang tersebut keluar dan bisa ditagihkan (bahasaokem nya menjadi ‘duit’). Pembandingnya adalah Term of Payment atau jatuh tempo pembayaran kepada supplier. Sebisa mungkin sebelum membayar, persediaan sudah menjadi uang. Saya ingat dosen mata kuliah Manajemen Keuangan pernah mengajarkan bahwa tukang pisang goreng memiliki perputaran persediaan yang sangat baik, “Pagi belanja, Sore sudah bisa menjadi ‘duit’” begitu kata dosen saya dulu.
Strategi Manajemen
Persediaan
Setelah membahas
mengenai prinsip umum dalam manajemen persediaan dimana penggunaan nya bisa
terdiferensiasi kepada beberapa hal yang sangat spesifik dengan industri yang
dijalankan, ada sedikit ulasan mengenai strategi manajemen persediaan.Strategi
yang saya coba angkat adalah penggunaan-penggunaan prinsip lebih lanjut
mengenai manajemen persediaan dan biasanya terkait dengan kondisi
diproyeksikan.
Strategi manajemen
persediaan ini membutuhkan
adanya satu perangkat Decision Support System / Sistem Pendukung Keputusan yang
akan memberikan analisa yang lengkap dan bisa dijadikan dasar untuk strategi
perusahaan. Dalam lingkup manajemen strategik, maka manajemen persediaan adalah
strategy pada level divisi yang harus mendukung strategy dari coorporate secara
keseluruhan. Misalkan : Strategi coorporate adalah memenuhi tingkat pengadaaan
barang di pasaran sesuai dengan keinginan konsumen. Manajemen persediaan sudah
bisa mengimplementasikan dengan menaikkan tingkat persediaan (mungkin
seperti pull method), tentunya strategy ini ‘sedikit’
mengesampingkan faktor biaya atau istilah nya with all cost.
Contoh strategi lain
adalah dalam mengelola beberapa karakteristik barang dengan variable :
Margin (tinggi
-rendah), Volume (besar-kecil), Sales (tinggi-rendah), Kerusakan
(tinggi-rendah), Value lain yang mempengaruhi (Tinggi-Rendah)
Variabel tadi akan
saling berinteraksi dan bussines divisional strategy yang tepat dari manajer
lini pertama perlu mendefinisikan strategy manajemen persediaan apakah yang
akan dipakai? Semisal : Dengan tingkat keuntungan yang sama, suatu
perusahaan akan berfokus pada barang yang memiliki margin besar namun sales
kecil, ketimbang margin rendah namu sales besar. Trade off ini diperhitungkan dari perbedaan
besarnya effort yang dikeluarkan oleh bagian operasional, tentunya net margin
yang dihasilkan harus minimal sama atau lebih tinggi. Dapat dibayangkan
kompleksitas yang diperhitungkan untuk mengambil kebijakan manajemen
persediaan, kompleksitas ini juga menyimpulkan bahwa Sistem Pendukung Keputusan
memainkan peranan yang cukup penting.
Decision Support
Systems
DSS atau Sistem
Pendukung Keputusan dalam manajemen persediaan merupakan hal penting yang
sering ‘disederhanakan’ oleh para pengambil keputusan. Perusahaan besar saat
ini sudah menempatkan level ahli ‘Inventory Analyst’ atau ‘Planner’ dalam posisi yang
cukup penting dan berkontribusi besar pada keputusan perusahaan. Investasi lain
dalam bentuk database yang terintegrasi juga telah banyak dipakai. Hal ini
dikarenakan perusahaan menginginkan adanya satu analisis komprehensif dan
akurat dengan menggunakan data se-aktual mungkin.
Salah satu contoh
dalam kekuatan perusahaan yang memiliki Analyst / Planner dalam sistem manajemen
persediaannya adalah ketika melakukan analisa Inventory Days setiap
SKU yang disimpan. Melalui analisa tersebut dapat diidentifikasi SKU yang
menyumbang kontribusi untuk perusahaan, serta ada juga SKU yang justru
merugikan untuk perusahaan. SKU yang merugikan bisa dilihat dari sudut
perputaran rendah, kerusakan tinggi, pemakaian space besar, dan hal-hal semacam
nya yang memunculkan biaya untuk perusahaan di saat SKU tersebut tidak
menyumbang revenue.
Beberapa kali level Analyst / Planner’ sering disepelekan,
karena ketidakmampuan mengabsorb kondisi lapangan yang riil. Sering juga
perhitungan di atas kertas itu akhirnya dicampakkan dan tidak dipakai oleh
mentahnya asumsi yang diambil. Hal ini adalah tantangan bagi Analyst / Planner
untuk meyakinkan partner atau kolega mereka kepada analisa yang dibuat.
Sistem pendukung
keputusan lainnya adalah software / database management. Software dasar
tentunya adalah Ms. Excel yang digunakan untuk perhitungan. Software lainnya
adalah Ms Visio untuk memodelkan atau memvisualisasi analisa-analisa yang
diambil. Sistem pendukung keputusan bisa dalam bentuk database management
system yang dipakai perusahaan, semisal : Foxbase, Oracle, dll. Saya kurang
paham mendetail mengenai hal ini, namun setahu saya dalam struktur database
tadi bisa dibuat program kecil untuk mengeluarkan hasil perhitungan yang sesuai
dengan keinginan user. Misalkan mengeluarkan
data barang yang memiliki rasio perputaran paling tinggi, menghitung seluruh
persediaan dibagi dengan sales, melakukan replenishment otomatis dengan memberi
indikator tertentu, dan masih banyak fungsi lainnya.
Istilah
Akhir tulisan ini saya
coba menuliskan beberapa daftar istilah yang biasa muncul, ini benar-benar dari
pengalaman saja dan kemungkinan pemahaman saya juga sedikit ‘melenceng’ atau
berbeda, monggo jika ada yang mau memperbaiki
Reorder point, titik dimana pengambil
keputusan harus melakukan pemesanan barang ke pemasok. Jika satu SKU mencapai
jumlah tertentu, maka gudang harus melakukan pemesanan barang untuk mengantisipasi
permintaan di kemudian hari, jika tidak dilakukan maka akan resiko nya adalah
gudang tidak mampu memenuhi permintaan barang. Sederhananya : Jika rata-rata
permintaan 10 dan waktu tunggu dari supplier adalah 2 hari, maka (jika tidak
menghitung buffer) reorder point adalah 20. Jika stock sudah mencapai 10, maka
gudang harus melakukan pemesanan barang.
Average
permintaan, adalah rata-rata historis permintaan suatu periode tertentu, biasanya dalam
periode waktu kira-kira 3 bulan untuk mengabsorb lonjakan-lonjakan yang terjadi
selama periode tersebut. Digunakan untuk menjadi dasar permintaan di masa
mendatang.
Buffer Stock, Angka atau jumlah yang
digunakan untuk mengantisipasi adanya lonjakan permintaan. Bisa dikatakan
idealnya minimum stock gudang adalah Average Permintaan + Buffer
Uncertainty, Keadaan tidak pasti
dari pasar yang harus diantisipasi atau disiasati dengan sistem manajemen
persediaan. Semisal pemasok yang tidak konsisten sementara barang di pasar
tinggi permintaannya. Pengelolaan terhadap ketidakpastian ini bisa menjadi
kunci keberhasilan perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar. Ketidakpastian
lain adalah permintaan pengecer tradisional yang fluktuatif.
Seasonal, Kondisi permintaan
musiman. Misalkan musim liburan anak-anak, maka akan ada trend sejumlah barang
tertentu yang harus disediakan dalam jumlah lebih besar daripada biasanya.
Kemampuan menghitung hal ini diperlukan rentang data masa lalu yang cukup
panjang, pemahaman kondisi pasar, perkembangan kompetitor, inflasi, trend
belanja, dll. Saya pernah melihat bahwa kondisi seasonal ini menyumbang angka
penjualan yang sangat besar dan momen ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin
oleh pengecer.
Inventory Days, Hari persediaan
yang merupakan jumlah stock dibagi rata-rata permintaan. Angka ini harus berada
pada angka seminim mungkin dengan tingkat potensi loss sales yang paling rendah
pula. Biasanya kesulitan terletak dari konsistensi pemasok dalam menyuplai
jumlah barang yang diminta.
Nah, kira-kira itu
tadi yang saya ketahui tentang Sistem Manajemen Persediaan Gudang. Memang masih
sedikit dan mungkin agak kurang matang, tetapi kurang lebih di 2-3 perusahaan
yang saya lalui di bidang logistik selalu berada pada koridor-koridor di atas.
0 comments:
Post a Comment